Ada Apa dengan Cina?!


I Wibowo

BILA hanya melihat penampilan fisik kota-kota besar (Beijing, Tianjin,
Shanghai, dan Guangzhou) orang akan segera melepaskan decak kagum.
Gedung-gedung tinggi di mana-mana, dililiti jalan-jalan yang ditopang
tinggi di atas tanah. Begitu pula bila melihat angka agregat ekonomi
seperti pertumbuhan ekonomi, cadangan devisa, volume ekspor-impor, dan
jumlah masuknya investor asing ke Cina.

Bila ditambah "banjir" produk buatan Cina yang kini menggenangi hampir
semua negara di dunia, tidak pelak lagi orang tiba pada kesimpulan
bahwa Cina hebat, dahsyat, luar biasa, dan sebagainya. Pandangan ini
banyak dilontarkan para analis yang amat optimis tentang Cina, seperti
misalnya buku Lawrence Brahm, China's Century. The Awakening of the
Next Economic Powerhouse (2001).

Namun, akhir-akhir ini muncul beberapa pengamat yang kritis terhadap
apa yang terjadi di Cina dan memanfaatkan data-data ekonomi yang lebih
detail. Ini diwakili sebuah buku yang amat kontroversial, tulisan
Gordon Chang, The Coming Collapse of China (2001). Buku ini dengan
tegas tidak searah dengan Lawrence Brahm dan kawan-kawannya, dan
menunjukkan sederetan masalah yang dihadapi pemimpin Cina saat ini,
dan semua ini akan mendorong keruntuhan Cina.

Yang pertama diangkat Chang adalah terjadinya suasana tidak puas terhadap rezim yang berkuasa sekarang, baik di kalangan petani maupun di kalangan buruh. Dicatatkan kasus-kasus yang tersebar di seluruh Cina petani-petani yang marah terhadap kader-kader di desa. Sedemikian marah sehingga petani-petani itu tidak ragu-ragu untuk menyerang, memukul, bahkan membakar kantor-kantor pejabat desa. Ini terjadi hampir setiap minggu di seluruh Cina.

Ketidakpuasan serupa juga muncul di kalangan buruh yang mengalami
pemutusan hubungan kerja di kota. Memang privatisasi perusahaan milik
negara masih jauh dari selesai, tetapi dari sejumlah perusahaan yang
telah mengalami privatisasi, buruh-buruh benar marah dan mengadakan aksi-aksi destruktif seperti para petani. Mereka menuduh pemerintah hanya mementingkan para kapitalis,
kelompok yang semestinya dilawan Partai Komunis Cina, partai yang berkuasa kini. Demonstrasi yang disusul kerusuhan marak di hampir semua kota di seluruh Cina.

Belum lagi bila menghitung angka pengangguran, baik di desa maupun di
kota. Maka munculnya ketidakpuasan yang merata di seluruh Cina saat
ini sungguh mudah dipahami. Meski demikian, Chang tidak hanya
bersandar pada satu data ini saja untuk menunjukkan kerapuhan Cina.
Kelompok data kedua yang jauh lebih mendasar adalah fakta bahwa
bank-bank Cina saat ini dalam keadaan insolvent. Ini yang amat
berbahaya bagi ekonomi Cina secara keseluruhan. Ramalan Chang, entah
bagaimana, entah kapan, seandainya rakyat Cina tahu keadaan ini, lalu
mengadakan rush terhadap bank-bank, maka tamatlah ekonomi Cina,
sekaligus politik Cina.

Persoalan dengan bank-bank di Cina (semua milik negara) adalah,
bank-bank ini dikuras untuk menutup kerugian yang diderita
perusahaan-perusahan milik negara yang berjumlah sekitar 300.000 di
seluruh Cina. Menurut sebuah analis, lebih dari 50 persen perusahaan
milik negara itu ada dalam keadaan bangkrut. Mengingat begitu besar
dampak sosial yang ditimbulkan oleh kebangkrutan perusahaan milik
negara, Pemerintah Cina tidak mempunyai pilihan lebih baik selain
menuangkan uang ke perusahaan-perusahaan itu, berapa pun yang diminta.
Pemerintah lebih memilih "stabilitas politik" ketimbang membiarkan
perusahaan itu bangkrut atau diprivatisasi.

Maka pertanyaan kritis yang sering dilemparkan oleh Gordon Chang dan
kawan-kawannya adalah sejauh mana pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini
dapat dipertahankan dengan situasi perbankan yang amburadul seperti
itu. Sulit untuk tetap memprediksikan bahwa ekonomi Cina akan terus
tumbuh dengan angka tujuh persen per tahun. Untuk menyelamatkan
keadaan, menurut Chang, Partai Komunis Cina harus berani mengadakan
reformasi politik, yaitu mengurangi intervensi negara dan membiarkan
mekanisme pasar berjalan.

Intervensi negara saat ini sebenarnya sudah jauh berkurang dibanding
30 tahun lalu, meski demikian negara masih banyak mencampuri ekonomi.
Campur tangan di bidang perbankan adalah salah satunya yang paling
mencolok.

***

PENDAPAT Chang itu sejajar dengan yang dikemukakan oleh laporan World
Bank yang ditulis tahun 1997, berjudul China 2020. Laporan ini ditulis
jauh sebelum buku Gordon Chang terbit, dan jauh lebih "tenang"
dibanding gaya tulisan Chang yang meledak-ledak. Laporan yang sarat
dengan angka statistik ini mula-mula menggambarkan prestasi ekonomi
Cina yang luar biasa. Misalnya, untuk melipatduakan income per capita,
Cina hanya membutuhkan waktu sembilan tahun (1978-1987), sementara
Inggris membutuhkan 100 tahun, Amerika Serikat 47 tahun, Jepang 34
tahun, dan Korea Selatan 11 tahun. Salah satu faktor penting yang
menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang spektakuler itu adalah high
saving rate, yaitu sekitar 37 persen antara tahun 1978-1995.

Namun, World Bank cepat memberi peringatan adanya enam masalah besar
yang menghadang Cina saat ini, yaitu transisi yang tidak lengkap,
lingkungan yang rusak, tak ada sumber pendapatan yang tetap,
melebarnya jurang kaya dan miskin, tidak cukup persediaan makan, dan
sengketa perdagangan dengan negara-negara lain.

Enam masalah itu sebenarnya tidak khas Cina, banyak negara sedang
berkembang juga menghadapi masalah-masalah itu. Ada masalah lain yang
sifatnya jangka panjang, dan ini menyangkut hal-hal yang sifatnya
mendasar. Dikatakan, tahun 2020 Cina akan mengalami kekurangan tanah,
modal maupun buruh terdidik. Belum lagi masalah-masalah berat yang
muncul bila nanti Cina benar-benar telah terintegrasi dengan sistem
perdagangan internasional di bawah WTO.

Rekomendasi yang ditawarkan juga hampir sama. Pemimpin Cina yang
semuanya tergabung dalam Partai Komunis Cina harus terus melaksanakan
reformasi, baik ekonomi maupun politik. Mungkin reformasi itu akan
berjalan perlahan, tetapi itu harus terus, tidak boleh berhenti. Kalau
reformasi itu dihentikan, maka skenario menakutkan akan menimpa Cina.

Dari bahasan yang amat singkat ini tampak, yang terjadi saat ini di
Cina sebenarnya lebih kompleks dan rumit daripada yang tampak dari
luar. Pada saat ini cukup banyak analis cenderung menahan diri
meramalkan sesuatu yang luar biasa pada Cina. Memang bukan ramalan
yang sensasional seperti yang dikemukakan Gordon Chang bahwa Cina akan
ambruk. World Bank condong mengambil pelajaran dari pengalaman Brasil
dan Meksiko yang mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi antara tahun
1950-1980, lalu jatuh pada dekade berikutnya. Bila tidak hati-hati,
Cina akan mengalami hal serupa, dan hal ini tidak akan ditolerir oleh
rakyat yang selama ini selalu diberi mimpi-mimpi akan masa depan
gemilang. Keabsahan Partai Komunis Cina memerintah Cina niscaya akan
digugat.

Partai Komunis Cina perlu mendapat perhatian khusus. Partai yang telah
berkuasa selama lebih 50 tahun ini sebenarnya tidak berpangku tangan.
Ia telah mengadakan perubahan-perubahan, terutama sejak dilancarkannya
program reformasi tahun 1978. Misalnya, Partai ini sekarang hanya
mempunyai anggota kurang dari 50 persen yang berasal dari kelas buruh
atau petani. Selebihnya diisi kelompok profesional, intelektual,
bahkan pengusaha swasta alias para kapitalis. Partai ini secara
perlahan telah melucuti dirinya dari ideologi komunisme, baik karena
komunisme tidak dinyatakan sebagai ideologi resmi maupun karena di
antara anggotanya tidak ada yang percaya akan ideologi itu.

Masalahnya, seberapa jauh Partai Komunis Cina masih mampu mendorong
perubahan yang diperlukan untuk mencegah terjadinya skenario buruk
itu? Inilah jawaban yang sulit diketahui pengamat dari luar. Perubahan
yang telah dilakukan tampak hanya terarah kepada upaya untuk
memperlebar basis pendukung (dari buruh dan petani menjadi berbagai
macam golongan dalam masyarakat), dengan demikian melanggengkan
kekuasaan. Ia tidak berusaha untuk benar-benar mereformasi sistem
politik sedemikian rupa, sehingga compatible dengan perubahan sistem
ekonomi yang sedang berjalan kini.

Di sinilah letak inti persoalan yang menarik. Bila Partai Komunis
Cina-demi melanggengkan kekuasaannya-nekat tidak mau mengadakan
reformasi politik, maka ia seperti menggali lubang kubur sendiri.
Perubahan ekonomi yang cepat akhirnya akan memaksa Partai Komunis Cina
runtuh, dan ini akan membawa akibat fatal. Sebaliknya, bila Partai
Komunis Cina mau mengambil langkah reformasi yang berani, maka pada
satu titik ia harus dengan legawa menyerahkan/membagi kekuasaan dengan
kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat. Cina lalu akan
menganut sistem pluralisme. Tetapi, yang terakhir inilah yang ditakuti
dan ditolak para pemimpin Cina, sekurangnya yang sekarang sedang berkuasa.

Dengan demikian, sebenarnya banyak masalah ekonomi pada dasarnya
adalah masalah politik. Mempersoalkan ekonomi Cina pada akhirnya
mempersoalkan politik Cina. Sejauh mana ekonomi Cina akan terus
berkembang dan sejauh mana Cina benar-benar akan menjadi economic
superpower, itu semua bergantung pada satu-satunya partai yang
berkuasa saat ini, Partai Komunis Cina.

I WIBOWO, Ketua Centre for Chinese Studies, Jakarta

Tidak ada komentar: