me-REVOLUSI Tafsir Hermeneutika


Al-Attas mungkin adalah sarjana Muslim kontemporer pertama yang telah memahami keunikan sifat ilmu Tafsir dan membedakannya dari konsep dan praktek Barat tentang hermeneutik, baik yang bersumber dari Kitab Bible atau teks-teks lainnya. Dalam hal ini al-Attas berbeda secara substantif dari Fazlur Rahman dan modernis atau post-modernis Muslim lainnya seperti Arkoun, Hasan Hanafi dan A.Karim Soroush. Pada Konferensi Dunia Kedua Pendidikan Islam (Second World Conference on Muslim Education) di Islamabad, al-Attas menggaris bawahi bahwa ilmu pertama dikalangan ummat Islam - ilmu Tafsir - menjadi mungkin dan menjadi kenyataan karena sifat ilmiah struktur Bahasa Arab.

Tafsir “benar-benar tidak identik dengan hermeneutika Yunani, juga tidak identik dengan hermeneutika Kristen, dan tidak juga sama dengan ilmu interpretasi kitab suci dari kultur dan agama lain.

Ilmu Tafsir al-Qur’an adalah penting karena ini benar-benar merupakan ilmu asas yang diatasnya dibangun keseluruhan struktur, tujuan, pengertian pandangan dan kebudayaan agama Islam. Itulah sebabnya mengapa al-Tabari (wafat 923 M) menganggapnya sebagai yang terpenting dibanding dengan seluruh pengetahuan dan ilmu. Ini adalah ilmu yang dipergunakan ummat Islam untuk memahami pengertian dan ajaran Kitab suci al-Qur’an, hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.

Tafsir adalah satu-satunya ilmu yang berhubungan langsung dengan Nabi, sebab Nabi telah diperintahkan oleh Allah swt untuk menyampaikan risalah kenabian, seperti yang terbukti dari ayat ini: “agar kamu (Muhammad) dapat menjelaskan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka.” Karena al-Qur’an diturunkan dalam Bahasa Arab dengan mengikuti cara-cara retorika orang-orang Arab, maka orang-orang yang hidup sezaman dengan Nabi memahami makna ayat al-Qur’an serta situasi ketika diturunkannya (sha’n dan asbab al-nuzul). Meskipun demikian, terdapat aspek-aspek ayat dan ajaran al-Qur’an yang memerlukan penjelasan dan penafsiran dari Nabi, baik secara verbal ataupun tingkah laku yang kemudian menjadi sunnah. Sebenarnya, dalam beberapa koleksi hadith terdapat bab khusus yang membahas tentang penafsiran al-Qur’an yang disebut kitab atau bab al-tafsir. Pengetahuan tentang hadith dan sunnah menjadi salah satu prasyarat yang asasi bagi pemahaman dan penafsiran al-Qur’an. Prasyarat lain, menurut al-Suyuthi, adalah pengetahuan ilmu linguistik Arab, seperti lexicografi, Tatabahasa, Konjugasi dan retorika, ilmu Fiqih, pengetahuan tentang berbagai macam bacaan al-Qur’an, ilmu Asbabunnuzul (sebab-sebab turunnya), dan ilmu Nasikh Mansukh.

Penafsiran dan penjelasan al-Qur’an seperti yang dibahas diatas, kebanyakan berdasarkan pada analisa semantik dengan pertimbangan latar belakang sosio-historis agar dapat memperoleh pengertian yang tepat. Kebenaran tentang ayat-ayat al-Qur’an tentang metafisika, hukum-hukum sosial dan sains tidaklah terbatas pada kondisi sosial historis ketika diturunkannya. Semua pertimbangan ini, yang seluruhnya berdasarkan pada sifat ilmiah Bahasa Arab dan adanya dukungan sejarah yang otentik, telah membantu menghasilkan Tafsir-tafsir al-Qur’an yang otoritatif yang tidak terdapat dalam tradisi-tradisi kitab suci lainnya. Sebagai contoh, dalam membandingkan al-Qur’an dengan kitab suci Hindu, Crollius mencatat bahwa analisa semantik lebih berkembang dalam kajian al-Qur’an dibandingkan dengan Kitab-kitab suci Hindu. Ia menambahkan:

Alasannya adalah bahwa al-Qur’an dari sudut pandang linguistik, menyuguhkan suatu kesatuan yang lebih besar dibandingkan dengan kitab-kitab suci Hindu. Selain itu beberapa situasi dalam al-Qur’an harus difahami dalam konteks latar belakang situasi keagamaan dimana penyebaran al-Qur’an berlangsung. Setting kesejarahan yang dapat diidentifikasi secara jelas hampir-hampir tidak ada pada sebahagian besar kitab-kitab suci Hindu. Ringkasnya, arti istilah-istilah al-Qur’an telah dijelaskan secara otoritatif oleh para ahli Tafsir Muslim. Tafsir otoritatif yang seperti ini tidak terdapat dalam agama Hindu.

Dari gambaran singkat diatas, sangatlah jelas bahwa ‘Ulum al-Tafsir atau ilmu penafsiran al-Qur’an sangat berbeda dari hermeneutik atau ilmu penafsiran kitab-kitab Yunani, Kristen atau tradisi agama lain. Dasar yang sangat fundamental dari perbedaan-perbedaan itu terletak pada konsepsi tentang sifat dan otoritas teks serta keotentikan dan kepermanenan bahasa dan pengertian kitab suci itu. Ummat Islam secara universal mengakui al-Qur’an sebagai kata-kata Tuhan yang diwahyukan secara verbatim kepada Nabi, dan banyak yang menghafal dan menulis ayat-ayatnya ketika Nabi hidup. Adanya berbagai variasi bacaan al-Qur’an telah diketahui dan diakui oleh orang-orang terdahulu yang berwenang sebagai tidak penting: semua itu berbeda hanya dalam kata-kata yang mengandung pengertian yang sama. Sebaliknya, orang-orang Yunani, seperti juga orang-orang Hindu, tidak pernah mempercayai sebarang Nabi atau wahyu. Pandangan keagamaan, tradisi dan adat istiadat orang Yunani kebanyakannya berdasarkan pada mitologi dan puisi, khususnya oleh Homer dan Hesiod, dan pada spekulasi filosof-filosof mereka yang bermacam-macam. Penafsiran-penafsiran mitologi dan puisi boleh jadi sangat subyektif atau ditentukan oleh kondisi politik keagamaan yang berlaku. Metode terpenting yang digunakan secara alami adalah metode kiasan (allegory), suatu tradisi di Yunani yang di prakarsai oleh Theagenes dari Rhegium (Abad ke 6 SM). Panafsiran kiasan (allegorical interpretation), umumnya melibatkan penolakan literer atau meninggalkannya sama sekali. Theagenes mempergunakan metode tersebut dalam menafsirkan Homer untuk melawan musuh-musuh teologis Homer dengan menafsirkan nama-nama tuhan untuk menunjukkan berbagai hakekat jiwa dan perjuangannya yang konstan menghadapi elemen-elemen alam. Kaum Stoic kemudian menjelaskan penggunaan Cynics dalam kiasan Homer untuk kepentingan suatu sistim filsafat. Yang agak menakjubkan adalah bahwa filsafat-filsafat Yunani telah menghasilkan penafsiran yang tak terhitung jumlahnya dan seringkali bertentangan secara mendasar.

Bible berbahasa Hebrew (atau materi-materi yang membentuk Perjanjian Lama), menurut para cendekiawan mereka, tidaklah dibangun sepenuhnya atas dasar ilmiah historis yang menunjukkan keasliannya, tapi berdasarkan pada keimanan belaka. Seperti yang dinyatakan oleh seorang cendekiwan: Teks Hebrew yang sekarang berada di tangan kita memiliki satu kekhususan: meski usianya yang cukup lama, ia datang kepada kita dalam bentuk manuskrip-manuskrip yang agak terlambat, oleh sebab itu dengan perjalanan waktu (lebih kurang hingga seribu tahun) telah banyak berubah dari aslinya)….tidak ada satupun dari manuskrip-manuskrip itu yang (datang) lebih awal dari abad kesembilan Masehi.

Sehubungan dengan kitab Perjanjian Lama (Old Testament), dapatlah disimpulkan bahwa, meskipun perbedaan-perbedaan itu tidak lagi wujud, namun kesalahannya tetap tersembunyi, dan jika ada kesalahan yang seperti itu ia dapat dikoreksi hanya dengan pembetulan spekulatif (yang bahayanya)…. sudah terkenal dan jelas…[aslinya italic].

Kehadiran kitab suci secara terlambat, sebenarnya tidaklah dengan sendirinya berarti negatif, jika semua isinya dihafal secara sempurna oleh sejumlah besar orang-orang yang sezaman dengan Yesus dan yang dedikasinya dapat dipercaya. Dengan begitu secara praktis mustahil terjadi kesalahan, seperti dalam kasus al-Qur’an.

Kitab Perjanjian Baru juga mempunyai masalah yang sama dengan Bible Hebrew. Kitab-kitab ini, khususnya gospel, ditulis setelah zaman Yesus dalam bahasa Yunani, yang dia sendiri sangat tidak mungkin berbicara dengan bahasa itu. Lagi pula, hal ini diakui oleh pihak yang berwenang dan terkenal dalam Kristen bahwa tujuan penulis-penulis gospel tidak untuk menulis sejarah yang obyektif tapi untuk tujuan-tujuan penyebaran agama Nasrani (evangelisme), yang sebahagiannya mengakibatkan kepada penafsiran-penafsiran allegoris yang berlebihan. Diakui pula bahwa salinan-salinan literatur Bible selanjutnya mengalami penyuntingan-penyuntingan reguler agar sesuai dengan kebutuhan dan zaman yang berubah.

Masalah di dalam penafsiran dan pemahaman ajaran-ajaran Yesus yang ditimbulkan oleh absennya pernyataan-pernyataannya yang asli secara permanen sangatlah jelas dan tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Alasan mengapa penulis-penulis Kristen awal memilih untuk menulis dalam bahasa Yunani ketimbang bahasa Armaic, yang merupakan bahasa asli Yesus yang historis, masih sejalan dengan kecenderungan evangelistis. Diduga bahwa bahasa Yunani dapat diadapsikan dan digunakan dengan baik bagi kepentingan agama Kristen. Hal ini bukan hanya karena bahasa itu digunakan secara luas pada masa kemudian, tapi juga karena bahasa itu menyediakan suatu medium yang kaya dan fleksible yang tanpanya kebenaran Kristiani tidak dapat menemukan ekspresi yang cocok. Bahasa Yunani dapat mengekspresikan berbagai nuansa makna dengan pembedaan yang halus, dan sebagiannya kaya dengan istilah-istilah keagamaan, etika dan filsafat yang diadapsikan untuk kegunaan bahasa Perjanjian Baru dan teologi Kristen. Perlu dicatat bahwa sehubungan dengan bahasa evangelis ini telah terjadi hal yang sebaliknya dalam sejarah Islam. Sejauh pengetahuan saya, al-Attas adalah cendekiawan pertama yang mencatat dan menjelaskan masalah yang sangat fundamental ini. Ketika Islam datang ke dunia Melayu melalui usaha-usaha para ulama dan saudagar Islam pada awal abad ke 12 M, mereka sengaja memilih bahasa Melalyu dan mempropagandakan pemakaiannya sebagai lingua franca dikawasan itu serta mengembangkannya menjadi bahasa keagamaan dan kesusasteran menggantikan Bahasa Jawa kuno atau Sanskrit, yang terminologi-terminologi keagamaan, etika dan filsafatnya diwarnai secara kental oleh pandangan hidup Hindu Budda. Bahasa Melayu saat itu belumlah dipakai dikebanyakan kawasan itu, ia hanya terbatas pada sedikit daerah-daerah komersial di pinggiran pantai.

Kasus yang sama telah terjadi lebih awal lagi ketika Islam datang ke Iran dan ke anak benua India. Meskipun Muslim Arab yang memasuki Persia pada sekitar tahun 900 M, memilih untuk menggunakan bahasa Pahlavi yang telah ada dan yang merupakan medium bagi agama Zoroaster, namun mereka mengganti tulisan Pahlavi yang usang itu dengan tulisan Arab. Oleh karena “Iran telah kemasukan agama dan jalan hidup orang Arab hingga ke urat nadinya” seperti yang dinyatakan oleh Noldeke, maka konsekuensinya yang nyata adalah bahwa kesusasteran dan percakapan Arab dipraktekkan dengan pengaruh yang sangat kuat terhadap bahasa Persia, khususnya dalam bahasa tulisannya, sehingga tidak ada kata-kata Arab yang tidak dapat digabungkan dengan bahasa Persia yang baik. Di India, orang-orang Islam tidak menggunakan bahasa Sanskrit yang merupakan bahasa kitab suci agama Hindu, atau bahasa Pali agama Buddha; mereka lebih cenderung memperkenalkan bahasa Persia. Mereka kemudian mengembangkan bahasa Urdu yang kebanyakan bedasarkan pada bahasa Persia dan Arab, meskipun tatabahasa dan strukturnya diambil dari bahasa Hindi.

Sebelum kita mengetrapkan secara tepat hikmah (wisdom) khusus dan umum yang terdapat dalam kitab suci ke dalam situasi sosio-historis yang berbeda-beda, pertama-tama kita harus memahami secara benar pengertian-pengertian yang orisinal ayat-ayat dalam kitab suci itu. Disini jelas bahwa pengetahuan tentang pengertian-pengertian yang orisinil dalam kitab-kitab suci Yahudi dan Kristen tidak dapat diperoleh, dan pada gilirannya akan memberikan jalan bagi suatu perkembangan yang oleh Gray disebut dengan “metode yang tidak sehat” dalam penafsiran:

(1) Penafsiran allegoris seperti yang dianut oleh Philo (meninggal sekitar 50 SM) dari agama Yahudi, Origen (meninggal sekitar 254 M) dan Jerome (meninggal 420 M) dari agama Kristen dikenal hingga Reformasi pada abad ke 16. Metode Philo sebenarnya diambil dari tradisi allegoris Yunani yang metodenya juga berpengaruh panjang terhadap metode penafsiran dalam agama Kristen dari sejak zaman Alexandria dan seterusnya. Pada zaman Pertengahan Latin para pendeta dari gereja Latin kemudian mentransfer metode ini ke dalam tafsir Perjanjian Baru.

(2) Metode dogmatis yang berusaha untuk menghukumi dan mengevaluasi semua interpretasi kitab suci menurut tradisi-tradisi gereja yang diberi otoritas dengan mudah tanpa cacat. Kaum Protestan, yang dipimpin oleh Luther, Zwingli, Melancthon dan Calvin pada abad ke 17 menolak kedudukan otoritas yang seperti itu dan berusaha untuk mengikuti otoritas tanpa cacat itu bukan dari gereja tapi hanya dari teks-teks kitab suci itu. Tapi karena teks-teks kitab suci itu tidak orisinal, terpaksa mereka menggunakan penafsiran sejarah.

Dalam hal ini perlu disebutkan bahwa kajian-kajian filosofis dan grammatikal yang ditrapkan terhadap penjelasan Bible sejak zaman pertengahan, khususnya terhadap Perjanjian Lama, dipengaruhi oleh hasil hubungan kultural dengan orang-orang Islam dan perkenalan mereka dengan retorika dan grammatika Bahasa Arab. Cendekiawan besar Yahudi, Sa’adyah Gaon (meninggal 942 M), seorang perintis kajian linguistik Yahudi, adalah diantara mereka yang dipastikan terpengaruh oleh metodologi kalam Arab-Islam. Seperti pendahulunya, Gaon telah terlibat dalam proses penterjemahan kitab suci itu kedalam Bahasa Arab dan juga dalam penulisan penjelasannya dalam bahasa yang sama, dan itu telah membuka jalan bagi suatu kajian baru kitab Perjanjian Lama. Usaha-usahanya itu telah mendorong tumbuhnya suatu pusat baru bagi kajian Bible dan linguistik yang intensif di Spanyol, yang kemudian mempengaruhi kajian Bible dalam Kristen. Fakta ini diakui oleh Josep Schmid yang menulis bahwa:”Para cendekiawan Yahudi Abad Pertengahan telah menghasilkan penjelasan-penjelasan kitab suci, karya-karya ketata-bahasaan dan lexicografis dalam jumlah yang besar yang juga mempengaruhi ilmu pengetahuan orang-orang Kristen tentang Bible. Solusi problem-problem tentang historisitas dan pemahaman kitab suci Yahudi dan Kristen nampaknya menemui jalan buntu, dan harus dijawab oleh generasi mendatang dengan bukti-bukti dan argumentasi yang lebih baik. Hal ini diakui oleh seorang cendekiawan yang ahli dalam bidang hermeneutik Bible yang dalam kesimpulan akhirnya menyatakan:”Persoalan tentang prinsip penafsiran yang valid dan konsisten untuk Perjanjian Lama dan Baru, serta penafsiran hukum secara keseluruhan, masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut.”

Berdasarkan pada penangkapannya yang ringkas tentang semangat dan kecenderungan yang fundamental tentang hermeneutik dan pemahamannya yang mendalam tentang keunikan karakter Tafsir sebagai ilmu, al-Attas menggaris bawahi dengan perkataan yang pasti bahwa Tafsir adalah benar-benar merupakan suatu metode ilmiah. Sebab Tafsir yang benar adalah yang berdasarkan pada ilmu pengetahuan yang mapan tentang “bidang-bidang” makna seperti yang disusun dalam bahasa Arab, diatur dan diaplikasikan didalam al-Qur’an serta tercermin dalam Hadith dan Sunnah. Maka dari itu, al-Attas menyatakan bahwa di dalam Tafsir tidak ada ruang bagi terkaan atau dugaan yang gegabah, atau ruang bagi interpretasi-interpretasi yang berdasarkan pada penafsiran atau pemahaman yang subyektif atau yang berdasarkan hanya pada ide tentang relativisme historis, seakan-akan perubahan semantik telah terjadi dalam struktur-struktur konseptual kata-kata dan istilah-istilah yang membentuk kosa-kata kitab suci ini.

Tafsir al-Qur’an adalah interpretasi berdasarkan pada ilmu pengetahuan yang mapan. Ia adalah kata benda infinitif yang diderivasikan dari kata kerja transitif fassara yang, menurut lexicolog Arab klassik, berarti menemukan, mendeteksi, mengungkapkan, memunculkan atau membuka sesuatu yang tersembunyi; atau membuat sesuatu menjadi jelas, nyata, atau gamblang; menerangkan, menjelaskan atau menafsirkan. Disitu, tafsir, seperti yang diterapkan kedalam al-Qur’an, menunjukkan arti “memperluas, menjelaskan, atau menginterpretasikan cerita yang ada…. dalam al-Qur’an, dan memaklumkan pengertian kata-kata atau ekspresi yang janggal, serta menjelaskan keadaan ketika ayat-ayat itu diwahyukan.” Pengertian Tafsir yang telah mapan adalah bahwa ia berusaha memberikan arti melalui bukti nyata atau eksternal (dalalah zahirah) sebagai bandingan dari bukti internal atau tersembunyi (dalalah batinah) yang terkandung dalam ta’wil atau interpretasi yang lebih mendalam.

Penafsiran dan penjelasan kata-kata dan konsep-konsep yang sulit, dalam al-Qur’an terdiri dari empat macam. Pertama, yang hanya diketahui oleh Tuhan, seperti arti-arti huruf-huruf yang terputus (huruf al-muqatta’at) yang muncul pada permulaan beberapa surah, informasi tentang tanggal dan waktu seperti waktu atau saat Hari Kebangkitan atau kemunculan kembali atau turunnya Nabi Isa, anak Maryam. Interpretasi mengenai hal-hal ini hanya akan merupakan dugaan dan terkaan belaka. Kedua, yang hanya dapat dijelaskan oleh Nabi, baik melalui teks (nass) dari beliau, atau melalui petunjuk (dalalah) yang telah diberikan kepadanya. Contoh tentang hal ini termasuk kewajiban agama yang spesifik dan masalah hukum seperti hukum waris. Ketiga, aspek-aspek yang dapat diinterpretasikan oleh mereka yang menguasai berbagai macam aspek Bahasa Arab, seperti yang difahami oleh orang-orang Arab, dan keempat, aspek-aspek yang dapat dijelaskan oleh ulama. Ulama yang mampu menafsirkan dan menjelaskan al-Qur’an adalah mereka yang memiliki ilmu pengetahuan linguistik Bahasa Arab, seperti lexicografi, tatabahasa, konjugasi dan retorika, pengetahuan hukum, pengetahuan variasi bacaan al-Qur’an, pengetahuan tentang kondisi ketika wahyu diturunkan, dan pengetahuan tentang ayat-ayat nasikh mansukh (yang menghapuskan dan yang dihapuskan), serta pengetahuan tentang hadith dan sunnah.

Menafsirkan al-Qur’an tanpa memiliki ilmu pengetahuan yang memadai dalam atau tentang hal-hal ini adalah identik dengan membuat penafsiran sesuai dengan pendapat pribadi seseorang (tafsir bi-l-ra’yi), yaitu yang dilarang, tanpa mempertimbangkan apakah hasilnya itu benar atau salah. Suatu hadith Nabi seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas, mengatakan:”Barangsiapa berbicara tentang al-Qur’an sesuai dengan pendapat pribadinya (bi ra’yihi), dipersilahkan untuk mengambil tempat duduknya di neraka.” Seperti diriwayatkan oleh Jundub, Nabi juga mengatakan:”Barangsiapa berbicara sesuai dengan pendapat pribadinya tentang al-Qur’an dan ia benar adalah (tetap) salah”.

Pandangan al-Attas ketika menyatakan bahwa “dalam Tafsir, tidak ada ruang bagi terkaan atau dugaan yang gegabah…..penafsiran atau pemahaman yang subyektif yang berdasarkan hanya pada ide tentang relativisme historis…”tidak berarti bahwa kebiasaan-kebiasaan seperti itu, yakni terkaan yang gegabah dan pemahaman yang subyektif, tidak pernah dilakukan dalam berbagai karya Tafsir, sebab hal itu memang ada dan akan terus ada. Meskipun begitu dugaan-dugaan dan penafsiran yang subyektif itu dengan sendirinya dan pada kenyataannya bukanlah Tafsir, walaupun itu merupakan karya besar yang diberi nama Tafsir. Tapi, karena adanya syarat-syarat yang jelas dan diterima secara luas, seperti yang disebutkan diatas, anggota masyarakat yang terdidik secara Islami tentu dapat bersikap secara tepat ketika menghadapi berbagai macam penafsiran al-Qur’an yang tidak bermutu dan tidak diakui itu. Karena kenyataan bahwa ilmu-ilmu yang disebutkan diatas adalah otoritatif dan telah dikodifikasikan serta dapat diperoleh dengan mudah, maka ilmu Tafsir al-Qur’an adalah sesuatu yang telah direalisasikan, dan karena itu tidak terbuka bagi generasi yang akan datang untuk mengadakan perubahan-perubahan yang fundamental. Sudah berang tentu generasi mendatang dapat memberi tambahan pengertian yang lebih luas terhadap Tafsir otoritatif yang telah ada, khususnya dalam aspek-aspek ilmu alam (natural sciences), tapi mereka tidak dapat begitu saja mengesampingkan penjelasan-penjelasan spiritual, etik dan hukum serta hubungan latar belakang historisnya. Persyaratan yang ketat dalam menafsirkan al-Qur’an bukanlah suatu upaya untuk menjauhkan al-Qur’an dari orang-orang Islam awam, tapi lebih merupakan suatu sikap yang adil terhadapnya dan tentunya merupakan suatu mekanisme efektif untuk meminimalkan masuknya kesalahan dan kebingungan. Daripada membiarkan terjadinya liberalisasi penafsiran al-Qur’an yang berdasarkan pada kejahilan, terkaan dan interes-interest pribadi dan kelompok, Islam menggalakkan belajar dan pencarian ilmu pengetahuan sebagai asas bagi pemahaman dan perkembangan agama, dengan meletakkan persyaratan yang berakar pada ilmu pengetahuan dan entegritas moral. Penekanan pada kriteria intelektualitas dan moralitas inilah yang menjadikan tamaddun Islam bercirikan ilmu pengatahuan.

Al-Attas mungkin satu-satunya intelektual Muslim kontemporer yang mendukung dan menjelaskan relevansi “Tafsir dan Ta’wil yang permanen sebagai metode pendekatan yang valid terhadap ilmu pengetahuan dan metodologi ilmiah dalam rangka pengkajian kita tentang alam semesta ini” dan dalam hubungannya yang integral dengan konsepsi Islam tentang ilmu pengetahuan dan pendidikan. Metode ilmiah Tafsir, yang berkaitan erat dengan penjelasan kami terdahulu tentang sifat ilmiah Bahasa Arab, dapat dibuktikan dari kenyataan bahwa hasil-hasil dari kerja Tafsir yang betul adalah ilmu pengetahuan yang pasti, sama pastinya dengan ilmu eksak seperti ilmu fisika dan matematika. Kesalahan dapat terjadi pada ilmu pasti sekalipun, baik dalam formulasi paradigma-paradigmanya dan prosedur-prosedurnya atau dalam aplikasinya, atau pada keduanya, tapi Tafsir sebagai ilmu eksak tidak mungkin salah, karena ia berdasarkan pada aturan lingusitik dan bidang semantik tentang makna yang mapan serta pandangan hidup al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang sahih. Tapi, Tafsir sebagai ilmu eksak tidak memberikan penjelasan yang final, karena hal itu adalah termasuk dalam ruang lingkup ta’wil.

Pandangan al-Attas tentang sifat ilmiah Tafsir adalah suatu jawaban yang tajam terhadap pandangan yang menyesatkan para penulis Muslim yang dipengaruhi secara langsung atau tidak langsung oleh perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam sejarah sains dan sosiologi ilmu pengetahuan, dan juga oleh perkembangan umum hermeneutik. Pada intinya mereka berpendapat bahwa setiap penafsiran teks, termasuk teks-teks al-Qur’an, adalah penuh dengan muatan teori dan diasimilasikan dengan pemikiran yang terikat pada perkembangan sejarah, teologi, politik dan ilmu pada masa itu. Salah seorang dari penulis itu, setelah mengemukakan suatu gap yang tak dapat terjembatani antara agama/wahyu dan sains/ilmu pengetahuan/penafsiran, menyatakan bahwa:
Agama yang diwahyukan sudah tentu bersifat ketuhanan, tapi tidak demikian halnya dengan ilmu agama yang merupakan output dari produksi dan konstruksi manusia. Ia adalah bersifat manusia dalam artian bahwa ia secara esensial dirasuki oleh semua karakteristik manusia yang mulia dan sekaligus hina itu.

Penulis seperti ini terperangkap sekurang-kurang dalam dua jalan. Pertama, lemahnya pendapat mereka sendiri yang sudah tentu telah tercampur dengan ideologi, metodologi dan pemikiran lain yang telah usang, meskipun begitu mereka meyakini pendapat mereka itu sebagai final dan tak berubah. Kedua, ketidakmampuan mereka untuk menjelaskan fakta bahwa beberapa Muslim yang cerdas, misalnya, masih berpegang pada penafsiran-penafsiran yang pernah dianut oleh, misalnya al-Ghazzali pada hampir seribu tahun yang lalu dan dapat berhasil mempertahankannya. Meskipun disitu jelas terdapat perbedaan-perbedaan kondisi sosial, politik dan ekonomi. Hal yang sama juga dapat diarahkan kepada beberapa pemikir Kristen modern seperti Etienne Gilson dan lainnya yang berpegang pada pendapat yang sama dengan apa yang dianut oleh Thomas Aquinas.

Al-Attas tentu akan tidak sependapat dengan Fazlur Rahman yang menganggap pembunuhan sebagai suatu tindak kejahatan sosial (social crime), dan bukan tindak kejahatan pribadi seperti yang dinyatakan dalam al-Qur’an. Yang demikian itu mungkin disebabkan oleh pengaruh metode historis kritis yang rancu seperti kritik-kritik terhadap Bible, yang memang telah melanda ilmu Tafsir. Metode yang seperti ini telah mengakibatkan berbagai kesulitan pada diri mereka sendiri, salah satunya adalah subyektifisme. Fazlur Rahman misalnya, menolak keras pendapat ahli hukum Muslim tradisional bahwa pembunuhan adalah suatu kejahatan pribadi terhadap keluarga korban berdasarkan ayat dalam surah Al-Baqarah (2):178-179, yang memperbolehkan keluarga itu untuk membalas, membayar uang darah atau memberikan maaf. Fazlur Rahman malah mengajukan “suatu prinsip yang lebih umum” dari surah al-Ma’idah (5):32 bahwa “Barangsiapa membunuh seseorang dengan secara tidak sah (bi ghayri nafsin) atau dengan tanpa suatu kerusakan (peperangan) di muka bumi, maka ia sama dengan membunuh seluruh ummat manusia”, yang jelas-jelas telah memahami makna pembunuhan diatas sebagai tindak kejahatan terhadap masyarakat ketimbang kejahatan pribadi terhadap suatu keluarga.

Selanjutnya untuk dapat “menghilangkan penafsiran-penafsiran yang tidak menentu” dan “mengurangi subyektifitas”, ia menyarankan agar setiap penafsir menyatakan secara eksplisit teori-teori umum dan khususnya serta premis-premis yang berhubungan dengan isue-isue atau masalah-masalah tertentu. Akan tetapi dalam kasus khusus diatas sama sekali tidak terjadi penafsiran yang tidak menentu dan subyektif, sebab seluruh ahli hukum Muslim sepakat dengan kenyataan bahwa pembunuhan adalah suatu kejahatan pribadi, justru Fazlur Rahman sendiri yang tidak menyatakan teori umum dan primis-premis khususnya. Terjemahan Fazlur Rahman kalimat bi-ghayri nafsin dengan pembunuhan yang tidak sah, menurut al-Attas adalah sangat subyektif dengan maksud agar sesuai dengan tujuannya yang bias bahwa semua pembunuhan selain perang adalah kejahatan terhadap masyarakat. Sudah barang tentu pembunuhan yang tidak dibenarkan adalah termasuk pembunuhan biasa sedangkan pembunuhan yang dibenarkan termasuk pembunuhan pembunuh dan orang-orang jahat. Al-Attas mengetengahkan bahwa bi ghayri nafsin berarti “kecuali seseorang”, yakni kecuali orang-orang biasa, dan karena itu menunjukkan kepada pembunuh biasa.

Penafsiran Fazlur Rahman jelas subyektif, karena ia juga dengan mudahnya melupakan konteks - historis sekaligus semantik - dari apa yang dinamakan ayat yang lebih umum. Konteks ayat-ayat sebelumnya dan sesudahnya jelas menunjukkan bahwa pembunuhan seorang individu yang dianggap sama dengan pembunuhan semua orang itu tidak menunjuk kepada individu tertentu, tapi kepada para nabi, dan kepada guru-guru besar yang mengajarkan kebaikan dan kesalehan, yang amal-amal dan ajaran-ajaran mereka berpengaruh kepada masyarakat. Sebab dengan membunuh mereka akan membuat masyarakat kehilangan petunjuk. Itulah sebabnya mengapa separoh bahagian terakhir dari ayat yang dikutip diatas menyebutkan dengan jelas “dan jika seseorang itu menyelamatkan satu nyawa, akan berarti seakan-akan ia menyelamatkan kehidupan semua orang”.

Ta’wil adalah kata benda infinitif dari kata kerja transitif, awwala, yang berarti membuat sesuatu itu kembali atau mengurangi sesuatu, yang berarti “menemukan, mendeteksi, mengungkapkan, mengembangkan, atau membuka, atau menjelaskan, menggambarkan, atau menterjemahkan tentang sesuatu atau mungkin menguranginya atau tentang sesuatu yang terjadi atau mungkin terjadi.” Istilah ta’wil yang disebutkan sebanyak 13 kali dalam al-Qur’an, menunjukkan arti penterjemahan sesuatu yang simbolik (seperti mimpi) atau penuturan hasil akhir atau hasil yang terjadi sesudahnya, seperti dalam surah Yusuf (12):101. Ia dapat juga berarti akibat terakhir (’aqibah) dari sesuatu seperti dalam Ali Imran (3):7 dan al-A’raf (7): 53, dst.

Al-Attas menganggap ta’wil sebagai “suatu bentuk intensif dari tafsir.” Ta’wil bukanlah interpretasi allegoris sebagaimana yang difahami oleh ilmuwan Barat seperti Andrew Rippin, sebab interpretasi allegoris, seperti yang disebutkan terdahulu, menolak semua pertimbangan-pertimbangan linguistik atau semantik atau mengesampingkan keduanya, sehingga tidak bisa sama dengan kebanyakan interpretasi ta’wil. Ta’wil adalah penafsiran batin dan lebih mendalam (tafsir batin), seperti yang ditunjukkan oleh Abu Thalib al-Thalabi, yang tentunya mensyaratkan kesesuaiannya dengan penafsiran zahir yang lebih nyata. Para cendekiawan Muslim sejak dahulu menganggap ta’wil sebagai tafsir dengan bentuk yang lebih spesifik, atau memahami tafsir sebagai lebih umum daripada ta’wil (al-tafsir a’ammu min al-ta’wil) seperti pendapat al-Raghib al-Isfahani. Selanjutnya, ta’wil, menurut al-Baghawi and al-Kuwashi, tidak dapat bertentangan dengan pengertian linguistik, dan ajaran-ajaran umum al-Qur’an dan Sunnah. Maka dari itu ia meliputi dan malah melampaui interpretasi tafsir, dan berusaha untuk mengungkapkan arti final dari sesuatu (’aqibatu-l-amr). Memang, kadang-kadang tafsir dan ta’wil dan juga ma’ani, dianggap sinonim, dan kita faham bahwa ini tidak disebabkan oleh metodenya yang persis sama, tapi lebih disebabkan oleh kesamaan dalam makna. Makna yang dicapai oleh tafsir tidak dapat diperluas kepada ta’wil yang kadang-kadang terjadi, khususnya, dalam penfsiran hukum. Dalam bidang hukum, penafsiran haruslah jelas (muhkam) dan tidak ambiguous (mutashabih). Hubungan intrinsik antara tafsir dan ta’wil ini telah difahami oleh Muslim sejak dahulu. al-Attas menunjukkan contoh klasik tentang sifat ilmiah ta’wil dan hubungan integralnya dengan tafsir:

Ketika Tuhan Yang Maha Agung berfirman bahwa Ia melahirkan (sesuatu) yang hidup dari yang mati (yukhriju al-hayy min al-mayyit) dan sekedar untuk memberi satu contoh khusus, kita menafsirkannya dengan pengertian bahwa Ia menjadikan burung dari telur, maka ini adalah tafsir. Tapi ketika kita menginterpretasikan kalimat yang sama dengan pengertian bahwa Ia menjadikan orang beriman (al-mu’min) dari kafir (al-kafir), atau Ia melahirkan orang alim dari yang jahil, maka ini adalah ta’wil. Dari sini jelaslah bahwa ta’wil tidak lain adalah suatu bentuk intensif dari tafsir; sebab yang terakhir (tafsir) menunjukkan penemuan, mendeteksi atau mengungkapkan tentang apa yang dimaksudkan oleh ungkapan yang ambiguos itu, sedangkan yang pertama (ta’wil) menunjukkan arti final dari ungkapan itu. Sekarang, penemuan, pendeteksian, atau pengungkapan makna-makna yang tersembunyi dari kata-kata dalam kalimat yang dikutip diatas - yang berkisar pada dua kata-kata yang ambiguous yang dipermasalahkan yaitu: yang hidup (al-hayy) dan yang mati (al-mayyit) - dalam kedua kasus tafsir dan ta’wil adalah berdasarkan pada kalimat lain dalam al-Qur’an, yang mengungkapkan struktur konseptual kata-kata itu dan konteks yang menentukan keduanya dalam bidang semantik, serta yang mencerminkan kondisi dimana keduanya diwahyu

Thank for http://militan.blogsome.com/2006/05/02/tafsir-bukanlah-hermeneutika/#more-33

katakan REVOLUSI, kawan!


Sebuah fitrah ketika manusia menyukai adat kebiasaan dan ingin mempertahankan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaannya. Maka, perubahan sejarah adalah sesuatu yang tidak mungkin kecuali dengan revolusi. Perubahan tanpa revolusi baru akan memberi dampak yang signifikan ketika telah memakan waktu yang lama.

Revolusi adalah sebuah perubahan mendadak, dan terjadi dalam waktu yang singkat, dimana semua adat kebiasaan masa lalu akan terhapus dan buyar seketika. Lehih jelasnya revolusi terjadi sebagai sebuah perubahan yang mendasar, cepat, dan menyeluruh yang dilakukan dengan penuh kesadaran. Kehidupan manusia selalu disertai dengan kebiasaan-kebiasaan yang mengajaknya untuk mandek di dalamnya. Sedangkan revolusi ialah gerak cepat, dan manusia selalu memerlukannya.
Teman-teman sosialis (karena revolusi memang identik sekali dengan sosialis) menganggap “saat-saat kritis” kehancuran kapitalisme adalah syarat mutlak untuk memecah sebuah revolusi. Saat-saat kritis itu, kata Karl Marx adalah :
1. Ketika masyarakat hanya terbagi menjadi dua; kelas atas dan kelas bawah, kelas proletar dan kelas borjuis, kelas pekerja dan kelas majikan.
2. Terjadi over produksi. Artinya produk kapitalisme menjadi berlebihan, tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sementara daya beli masyarakat sangat menurun.
3. Terjadi akumulasi modal. Dalam pengertian bahwa modal akhirnya terkonsentrasi pada segelintir borjuis saja. Kondisi ini dikarenakan hukum persaingan pasar yang sangat kejam.

Kalau kita memiliki pemikiran revolusi yang sama, maka saat ini kita tengah menanti perubahan yang sama dari kapitalisme yang sekuler kepada khilafah islamiyah. Jadi revolusi dapat kita jadikan sebagai salah satu cara untuk pembentukan khilafah. Tetapi,revolusi memerlukan syarat-syarat tertentu, yang kalau teman-teman kiri sebut sebagai “saat-saat kritis�?, dari segi system. Dari sisi cultural, revolusi juga memerlukan dukungan. Seperti rakyat Perancis yang tidak puas dengan kekuasaan monarki Louis VII.
Revolusi bisa gagal bila massa tidak memiliki kesadaran,mereka bergerak karena terpengaruh oleh orang-orang tertentu yang memiliki kemampuan memobilisir yang kuat serta hebat. Untuk teori Marx diatas, Marxis menganggap bahwa bagi kondisi Indonesia saat ini, revolusi adalah jalan yang harus di tempuh karena melihat demokrasi sudah sedemikian bobroknya.
Sebagaimana kaum proletar yang tengah mereka bela, umat Islam saat ini belum memiliki kesadaran penuh akan ketertindasannya. Mereka tidak memiliki kesadaran dan mereka hanya mencoba bertahan hidup dan menjalani apa yang ada. Jangankan untuk hal itu, syumuliyatul Islam saja barangkali mereka tidak mengetahuinya. Tanpa kesadaran mereka, revolusi tidak akan pernah terjadi.
Kemudian, banyak aktivis yang benar-benar memperjuangkan mereka namun mereka terpisah dari umat, kita bergelut dengan buku, pemikiran dan berdiskusi mengenai ideologi. Tetapi kita tidak mengerti bagaimana keadaan umat dan apa yang diinginkan umat, yang diharapkan umat. Kita tidak pernah berdialog dengan umat dan merasakan langsung keadaan mereka diantara serangan ghazwul fikri yang demikian hebat. Tanpa pemahaman mengenai umat kita mencoba membela dan mencari solusi untuk umat. Entah itu di legislative, partai politik, maupun dimasjid-masjid dan pengajian. Kita bicara atas nama umat, tapi lucu, kita sendiri tidak ingin berempati dengan umat. Sehingga kita tidak tahu bagaimana keadaan sesungguhnya yang sedang dialami umat.

Apapun konsepnya, kalau memang kondisinya belum matang maka revolusi itu akan berakhir sia-sia. Hanya akan meminta korban yang tak ada artinya.
Di Indonesia kondisinya seperti itu. Umat (proletar) belum sepenuhnya merasa benar-benar tertindas oleh kekuasaan yang sebenarnya tiran itu.

Setidaknya, ada tiga hal yang patut dipertimbangkan sebelum melakukan revolusi (nyontek Hasan Al Banna yang juga dikutip di buku Perangkat-Perangkat Tarbiyah Ikhwanul Muslimin). Pertama, revolusi biasanya menggunakan kekuatan militer atau pengerahan massa. Ketika kita mempergunakan kekuatan fisik dan senjata, sementara kondisi strukturalnya masih berantakan, sistemnya rancu, aqidahnya lemah dan cahaya imannya redup, maka pasti akan berakhir dengan kehancuran dan kebinasaan.

Kedua, apakah Islam memerintahkan kita agar selalu menggunakan kekuatan pada setiap situasi dan kondisi? Tentunya ada batasan, syarat dan arahan dalam penggunaannya.

Ketiga, apakah penggunaan kekuatan dalam revolusi ini merupakan solusi awal ataukah alternatif terakhir? Pertimbangan dampak serta resiko yang ditimbulkan tentu tidak bisa kita abaikan.


#KEEP PEACE FOR WHITE REVOLUTION

(thanks god for syifa :D)

Menciptakan LENIN dan STALIN


BAGI kaum kiri-jauh Leninis, ambruknya Republik Sosialis Uni Soviet telah melontarkan lebih banyak pertanyaan ketimbang yang terjawab. Kalau Uni Soviet benar-benar merupakan sebuah ’negara pekerja’, mengapa para pekerja tidak mau membelanya? Mengapa pada kenyataannya mereka menyambut hangat datangnya perubahan?

Apa yang terjadi pada "revolusi politik ataukah kontra-revolusi berdarah" -nya Trotsky? Organisasi-organisasi Leninis yang tak lagi memandang Uni Soviet sebagai negara pekerja juga belum bisa lepas dari kontradiksi-kontradiksi tersebut. Kalau memang Stalin merupakan sumber permasalahan, mengapa ada begitu banyak pekerja Rusia yang menyalahkan Lenin serta pemimpin-pemimpin Bolshevik lainnya?

Mitologi "Lenin, sang pencipta dan penopang revolusi Rusia" kini sekarat. Demikian pula yang akan terjadi pada semua kelompok Leninis karena, seiring arsip-arsip Soviet makin dibuka, akan semakin sulit untuk mempertahankan warisan Lenin. Sampai saat ini, kaum kiri di Barat telah menghindari dan memalsukan perdebatan tentang Lenin selama 60 tahun. Bagaimanapun, sekarang ini marak bermunculan artikel-artikel dan pertemuan-pertemuan oleh berbagai kelompok Trotskyis yang berusaha meyakinkan para pekerja bahwa Lenin tidak menggiring pada munculnya Stalin. Sayangnya, banyak dari perdebatan ini masih didasarkan atas fitnah dan pemalsuan-pemalsuan sejarah yang telah menjadi gejala Bolshevisme sejak 1918. Pertanyaan-pertanyaan kunci mengenai unsur-unsur apa yang membentuk Stalinisme, dan kapan "Stalinisme" pertama kali muncul dalam prakteknya, dihindari demi mempertahankan retorika dan kepalsuan sejarah.

Stalinisme didefinisikan oleh banyak ciri, dan sesungguhnya beberapa dari ciri-ciri ini sangat sulit ketimbang sebagian ciri lainnya untuk ditempatkan di kaki Lenin. Poin-poin panduan kebijakan luar negeri Stalin, misalnya, adalah ide tentang ko-eksistensi damai dengan Barat sembari membangun sosialisme di Republik Sosialis Uni Soviet ("sosialisme di satu negeri"). Lenin sering dipresentasikan sebagai lawan ekstrem terhadap Stalinisme seperti itu, Lenin dipresentasikan sebagai orang yang mau menempuh risiko apapun demi terwujudnya revolusi internasional. Akan tetapi, cerita ini, sebagaimana juga banyak cerita lainnya, tidaklah sepenuhnya seperti apa yang terlihat.

Poin-poin lain yang akan dianggap oleh banyak orang sebagai ciri Stalinisme mencakuppembentukan sebuah negara satu partai, tidak ada kontrol terhadap perekonomian oleh kelas pekerja, kekuasaan diktatorial individu-individu terhadap massa masyarakat, pelibasan secara brutal terhadap aksi-aksi pekerja, dan penggunaan fitnah serta penyelewengan sejarah

Sosialisme di Satu Negeri

Perjanjian Brest-Livtosk tahun 1918, yang menarik Rusia keluar dari Perang Dunia I, juga menyerahkan sebagian sangat besar wilayah Ukraina kepada bangsa Austro-Hungaria.

Jelaslah, ketika itu tidak ada potensi untuk meneruskan sebuah perang konvensional (khususnya setelah kaum Bolshevik menggunakan slogan «kedamaian, roti, tanah » untuk memenangkan dukungan massa). Namun demikian, hadirnya gerakan Makhnovis di Ukraina jelas menunjukkan sebuah potensi revolusioner yang sangat besar di kalangan petani dan pekerja Ukraina. Tidak ada upaya yang dilakukan guna mendukung atau menopang kekuatan-kekuatan yang memang berusaha untuk melakukan sebuah perang revolusioner melawan bangsa Austro-Hungaria. Mereka dikorbankan demi mendapatkan sebuah interval untuk membangun «sosialisme» di Rusia.

Poin kedua yang penting mengenai internasionalisme Lenin adalah penekanannya sejak tahun 1918 bahwa, yang menjadi tugas adalah membangun «kapitalisme negara", misalnya dengan pernyataan «kalau kita mengintrodusir kapitalisme negara dalam masa kira-kira 6 bulan, maka kita akan mencapai keberhasilan yang besar…". [1] Lenin juga diketahui pernah mengatakan «Sosialisme tak lain adalah monopoli-kapitalis negara yang dilakukan demi kemanfaatan seluruh rakyat". [2] Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai konsep Lenin tentang sosialisme.

Negara Satu Partai

Satu ciri pokok lainnya yang oleh banyak orang biasanya diasosiasikan dengan Stalinisme adalah pembentukan sebuah negara satu partai, dan pembungkaman semua arus oposisi di dalam partai. Banyak kaum Trotskyis masih akan mengatakan kepada kamu bahwa kaum Bolshevik menyemangati kaum pekerja untuk bangkit dan memperdebatkan poin-poin di masa itu, baik di dalam maupun di luar partai. Kenyataannya sangatlah berbeda, karena kaum Bolshevik segera mengawasi secara keras kekuatan-kekuatan revolusioner di luar partai, dan kemudian mengawasi ketat orang-orang di dalam partai yang gagal mengikuti garis partai.

Pada April 1918, polisi rahasia Bolshevik (Cheka) menggerebek 26 pusat Anarkis di Moskow. Empat puluh orang Anarkis dibunuh atau terluka dan lebih dari 500 orang dipenjara. [3] Pada bulan Mei, terbitan-terbitan Anarkis yang terkemuka dibredel. [4] Kedua peristiwa ini terjadi sebelum alasan meletusnya Perang Sipil bisa digunakan ( ? terhadap kelompok-kelompok kiri lainnya.?) sebagai suatu ’pembenaran’. Penggerebekan-penggerebekan ini terjadi karena kaum Bolshevik mulai kalah dalam perdebatan-perdebatan mengenai pengelolaan industri Rusia.

Di tahun 1918 itu juga, sebuah faksi di partai Bolshevik yang kritis terhadap kebijakan partai yang mengintrodusir ’Taylorisme’ (penggunaan kajian-kajian tentang keping kerja, waktu dan gerak untuk mengukur hasil masing-masing pekerja, yang pada esensinya adalah ilmu tentang ekstraksi tenaga habis-habisan) di jurnal Kommunist dipaksa keluar dari Leningrad ketika mayoritas peserta konferensi partai di Leningrad mendukung tuntutan Lenin «agar para penggiat Kommunist menghentikan eksistensi organisasional mereka yang terpisah-pisah". [5]

Jurnal ini terbit terakhir kali pada bulan Mei, dibungkam «Bukan dengan diskusi, bujukan ataupun kompromi, melainkan dengan suatu kampanye bertekanan tinggi di dalam organisasi-organisasi partai, yang didukung oleh serangan caci-maki kasar di pers partai…". [6] Dahsyatnya kalau dikatakan mendorong perdebatan!! Satu contoh lebih jauh tentang ’mendorong perdebatan’ ala Bolshevik terlihat dalam perlakuan mereka terhadap Makhnovis di Ukraina. Tentara partisan yang berperang melawan baik kaum nasionalis Ukraina maupun para jenderal Putih pada satu masa membebaskan lebih dari 7 juta orang. Ini dipimpin oleh seorang anarkis, Nestor Mhakno, dan anarkisme memainkan peran besar dalam ideologi gerakan ini. Zona yang dibebaskan ini dikelola oleh sebuah soviet demokratik pekerja dan petani, dan banyak kolektif didirikan.

Gema Spanyol

Kaum Makhnovis masuk ke dalam perjanjian dengan kaum Bolshevik tiga kali agar bisa mempertahankan sebuah front yang kuat untuk melawan kaum Putih dan kaum nasionalis. Kendati demikian, mereka juga tiga kali dikhianati oleh kaum Bolshevik, dan pada kali ketiga mereka pun dihancurkan setelah kaum Bolshevik menangkap dan mengeksekusi semua delegasi yang dikirim ke sebuah dewan militer bersama. Penangkapan dan pembunuhan ini dilakukan atas instruksi Trotsky!

Uraian Daniel Guerin tentang sepak-terjang Trotsky terhadap kaum Makhnovis adalah instruktif «Trotsky menolak untuk memberikan senjata kepada para partisan Makhno, mengabaikan tugasnya untuk membantu mereka, dan kemudian menuduh mereka berkhianat serta sengaja membiarkan diri mereka dipukul oleh pasukan putih. Prosedur yang sama 18 tahun kemudian diikuti oleh kaum Stalinis Spanyol terhadap brigade-brigade anarkis". [7]

Sumbat final diterapkan pada kehidupan politik di luar ataupun di dalam partai pada tahun 1921. Kongres partai pada 1921 melarang semua faksi di dalam partai komunis itu sendiri. Trotsky berpidato mengecam salah satu faksi tersebut, yakni Oposisi Pekerja, dengan mengatakan bahwa mereka telah «menempatkan hak pekerja untuk memilih wakil-wakil di atas partai. Seolah partai tidak berhak untuk menegaskan kediktatorannya meskipun kediktatoran itu untuk sementara waktu berbenturan dengan semangat demokrasi pekerja yang sedang berlangsung". [8] Tak lama setelah itu, pemberontakan Kronstadt digunakan untuk membuang, memenjarakan dan mengeksekusi kaum anarkis yang tersisa. Lama sebelum matinya Lenin, warisan politik yang kini dibebankan kesalahannya pada Stalin telah tersempurnakan. Perbedaan pendapat telah dibungkam di dalam dan di luar partai. Negara satu partai berdiri pada tahun 1921. Stalin mungkin memang merupakan tokoh pertama yang mengeksekusi anggota-anggota partai dalam skala sangat besar, namun dengan adanya eksekusi orang-orang revolusioner di luar partai serta pembungkaman perdebatan di dalam partai sejak tahun 1918, maka logika untuk pembersihan-pembersihan ini jelas sudah tertanam sebelumnya.

Kelas Pekerja Di Bawah Kekuasaan Lenin

Satu wilayah kunci lainnya adalah posisi kelas pekerja dalam masyarakat Stalinis. Tidak ada kaum Trotskyis yang akan menyangkal bahwa di bawah kekuasaan Stalin, kaum pekerja tidak punya hak suara dalam pengelolaan tempat kerja mereka dan mengalami kondisi-kondisi yang kejam di bawah ancaman tangan besi negara. Namun demikian, sekali lagi, kondisi-kondisi ini mulai muncul di bawah kekuasaan Lenin, dan bukan Stalin. Segera setelah revolusi, kaum pekerja Rusia berusaha mem-federasi-kan komite-komite pabrik agar bisa memaksimalkan distribusi sumberdaya. Ini dihambat oleh serikat-serikat buruh dengan ’arahan’ dari Bolshevik.

Di awal 1918, basis kontrol oleh pekerja yang terbatas, yang ditawarkan oleh kaum Bolshevik (pada kenyataannya lebih sedikit lagi ketimbang yang diperhitungkan), menjadi jelas ketika semua keputusan harus disetujui oleh sebuah badan tinggi yang mana tak lebih dari 50% keanggotaannya bisa diisi oleh pekerja. Daniel Guerin menguraikan bagaimana kontrol Bolshevik terhadap proses pemilihan di pabrik-pabrik: "pemilihan-pemilihan untuk memilih komite-komite pabrik terus berlangsung, tetapi satu anggota sel Komunis membacakan daftar kandidat yang telah ditentukan sebelumnya, dan pemungutan suara dilakukan dengan cara mengacungkan tangan di tengah kehadiran garda-garda ’Komunis’ bersenjata. Siapapun yang menyatakan oposisinya terhadap kandidat-kandidat yang diajukan, akan terkena pemotongan upah, dll." [9]

Pada 26 Maret 1918, kontrol oleh pekerja di proyek-proyek pembangunan jalan kereta api dihapuskan dengan sebuah dekrit yang penuh dengan frasa-frasa menjengkelkan yang menekankan «disiplin kerja besi» dan manajemen individu. Sekurangnya, kata para pengikut Trotsky, jalan-jalan kereta api bisa beroperasi tepat pada waktunya. Di bulan April Lenin menerbitkan sebuah artikel di Isvestiya yang mencantumkan pengenalan sebuah sistem kartu untuk mengukur produktivitas masing-masing pekerja. Dia mengatakan «… di Rusia kita harus mengorganisir pengkajian dan pengajaran sistem Talyor." "Kepatuhan total terhadap suatu kehendak tunggal mutlak diperlukan untuk keberhasilan proses kerja...revolusi menuntut, demi kepentingan sosialisme, bahwa massa tanpa mempertanyakan lagi mematuhi kehendak tunggal para pemimpin proses kerja itu," [10] demikian dinyatakan Lenin pada 1918. Ini terjadi sebelum meletusnya Perang Sipil, hal mana membuat klaim-klaim yang menyatakan bahwa, kaum Bolshevik pada waktu itu berusaha memaksimalkan kontrol oleh pekerja sebelum Perang Sipil menghambat usaha itu, menjadi sekadar omong kosong.

Dengan meletusnya Perang Sipil, kondisi menjadi jauh lebih buruk. Di akhir bulan Mei, dikeluarkan dekrit bahwa tak lebih dari 1/3 personalia manajemen di perusahaan-perusahaan industri yang perlu dipilih. [11] Beberapa «puncak momentum» di tahun-tahun berikutnya cukup penting untuk dikemukakan. Pada kongres ke-9 partai di bulan April 1920, Trotsky mengeluarkan komentarnya yang buruk tentang militerisasi kerja : "kelas pekerja... harus dilemparkan kesana-kemari, ditunjuk, diperintah persis seperti serdadu. Para disertir dari kerja harus ditempa di dalam batalyon-batalyon penghukuman atau dimasukkan ke kamp-kamp konsentrasi." [12] kongres itu sendiri mendeklarasikan: «tidak ada kelompok serikat buruh yang perlu secara langsung campur tangan dalam manajemen industri." [13]

Manajemen Satu Orang

Pada kongres serikat buruh di bulan April itu, Lenin membual betapa pada tahun 1918 dia telah " menjelaskan perlunya mengakui otoritas diktatorial individu-individu tunggal demi tujuan melaksanakan ide soviet." [14] Trotsky menyatakan bahwa «kerja... wajib bagi seluruh pelosok negeri, kewajiban bagi setiap pekerja adalah basis sosialisme " [15] dan bahwa militerisasi kerja bukanlah langkah darurat. [16]

Dalam buku Perang, Komunisme dan Terorisme yang diterbitkan oleh Trotsky pada tahun itu, dia mengatakan, «Serikat -serikat hendaknya mendisiplinkan para pekerja dan mengajari mereka untuk menempatkan kepentingan-kepentingan produksi di atas kebutuhan-kebutuhan dan tuntutan-tuntutan mereka sendiri."

Dengan demikian, mustahillah untuk membedakan antara kebijakan-kebijakan ini dengan kebijakan-kebijakan kerja di masa kekuasaan Stalin.

Pemberontakan Pekerja

Barangkali kecaman yang paling pedas terhadap rezim-rezim Stalinis muncul setelah mereka melakukan pelibasan terhadap pemberontakan-pemberontakan pekerja, baik yang diketahui secara luas seperti di Berlin Timur pada 1953, di Hungaria pada 1956 dan di Cekoslovakia pada 1968 maupun yang skalanya lebih kecil, pemberontakan-pemberontakan yang kurang dikenal. Pemberontakan besar yang pertama seperti itu terjadi di masa kekuasaan Lenin dikarenakan adanya intimidasi berskala besar pada tahun 1921 di Kronstadt, sebuah pangkalan angkatan laut dan kota kecil dekat Petrograd.

Pemberontakan ini secara esensial terjadi ketika Kronstadt berupaya untuk secara demokratis memilih sebuah soviet, dan mengeluarkan serangkaian pernyataan yang menyerukan untuk kembali ke soviet-soviet yang demokratis serta kebebasan pers dan kebebasan bicara bagi partai-partai sosialis kiri." [17]

Upaya ini memenangkan dukungan bukan hanya dari massa pekerja dan pelaut di pangkalan itu, melainkan juga dari sebagian jajaran di partai Bolshevik. Respon kaum Leninis ketika itu brutal. Pangkalan Kronstadt digempur, dan banyak dari para pemberontak yang gagal melarikan diri dieksekusi. Kronstadt telah menjadi kekuatan penggerak untuk revolusi tahun 1917, dan pada 1921 revolusi mati bersama matinya Kronstadt.

Ada ciri-ciri lain yang lazim diterima sebagai karakter Stalinisme. Satu lagi yang cukup penting untuk diperhatikan adalah cara fitnah yang telah digunakan oleh organisasi-organisasi Stalinis sebagai senjata untuk melawan kelompok-kelompok kiri lainnya. Satu lagi yang lain adalah cara Stalin menulis ulang sejarah. Namun demikian, sekali lagi ini adalah turunan mendalam dari Leninisme. Mhakno, misalnya, diubah dari semula dielu-elukan oleh koran-koran Bolshevik sebagai «Sang Pembalas Kaum Putih " [18], kemudian digambarkan sebagai seorang Kulak dan bandit.

Fitnah

Kaum Trotskyis di masa modern sekarang senang sekali mengulangi bentuk fitnah ini dengan disertai penggambaran Mhakno sebagai seorang yang anti-Semit. Namun demikian, sejarawan Yahudi, M. Tchernikover, mengatakan: «Tak bisa dipungkiri bahwa, di antara semua tentara, termasuk Tentara Merah, kaum Makhnovis-lah yang berlaku paling baik terhadap penduduk sipil pada umumnya, dan penduduk Yahudi pada khususnya. " [19]

Kepemimpinan kaum Makhnovis berisikan orang-orang Yahudi, dan bagi mereka yang ingin berorganisasi dengan cara ini, ada detasemen-detasemen yang khusus untuk orang Yahudi. Peran yang dimainkan oleh kaum Makhnovis dalam menaklukkan kaum putih telah dihapuskan dari sejarah oleh setiap sejarawan Troskyis, tetapi beberapa sejarawan lain menganggap bahwa kaum Makhnovis memainkan peran yang jauh lebih menentukan ketimbang Tentara Merah dalam mengalahkan Wrangel. [20]

Kronstadt memberikan satu contoh lagi mengenai bagaimana Lenin dan Trotsky menggunakan fitnah untuk menghadapi musuh-musuh politiknya. Keduanya berupaya menggambarkan pemberontakan tersebut sebagai diorganisir dan dipimpin oleh kaum putih. Pravda edisi 3 Maret 1921 menggambarkan pemberontakan Kronstadt sebagai «Sebuah skenario baru kaum Putih.... yang diperkirakan-dan tak ragu lagi memang disiapkan-oleh kaum kontra-revolusi Perancis. " Lenin, dalam laporannya kepada Kongres ke-10 Partai pada tanggal 8 Maret, mengatakan, «Para jendral Putih, kalian semua tahu, memainkan peran besar dalam hal ini. Ini sepenuhnya terbukti. " [21]

Namun demikian, bahkan Isaac Deutscher, penulis biografi Trotsky, mengatakan dalam The Prophet Armed: «Kaum Bolshevik menuduh orang-orang Kronstadt sebagai para pendurhaka kontra-revolusioner yang dipimpin oleh seorang jendral Putih. Tuduhan ini nampak tak berdasar. " [22]

Menulis Ulang Sejarah

Beberapa orang Trotskyis di era modern ini mengulangi cara-cara memfitnah orang lain, misalnya Brian Pearce (sejarawan Liga Buruh Sosialis di Inggris) yang berusaha menyangkal bahwa hal seperti itu pernah terjadi: «Tidak ada pretensi yang dibuat dalam pernyataan bahwa para pendurhaka Kronstadt adalah Garda Putih. " [23] Fakta sesungguhnya menunjukkan bahwa, satu-satunya jendral Tsaris yang ada di kubu pertahanan ditempatkan di sana sebagai komandan oleh Trotsky beberapa bulan sebelumnya! Biarlah kita serahkan kata-kata terakhir tentang hal ini kepada para pekerja Kronstadt: «Kawan-kawan, jangan biarkan dirimu disesatkan. Di Kronstadt, kekuasaan ada di tangan para pelaut, serdadu merah dan para pekerja revolusioner. " [24]

Ada ironi dalam fakta bahwa taktik-taktik fitnah dan menulis ulang sejarah, sebagaimana yang dilakukan secara sempurna oleh kaum Bolshevik di bawah kepemimpinan Lenin, kemudian digunakan dengan efek serupa terhadap kaum Trotskyis. Trotsky dan para pengikutnya dituduh sebagai «Fasis» dan agen imperialisme internasional. Mereka hendak dicoret dari sejarah revolusi. Kendati demikian, sekarang ini para pengikut Trotsky, yakni kaum Leninis terakhir yang tersisa, menggunakan taktik-taktik yang sama dalam menghadapi lawan-lawan politiknya.

Maksud dari artikel ini adalah untuk memancing banyak perdebatan yang diperlukan di kalangan kiri Irlandia tentang watak Leninisme dan bagaimana revolusia berjalan ke arah yang buruk. Konteks ambruknya Eropa Timur membuat semakin mendesak saja bagi perdebatan ini untuk bergerak melampaui kebohongan-kebohongan lama yang itu-itu juga. Kalau Leninisme terletak di jantung Stalinisme, maka organisasi-organisasi yang menganut ajaran Lenin berdiri untuk kembali membuat kesalahan-kesalahan yang sama. Siapapun dalam sebuah organisasi Leninis yang tidak menanggapi hal ini secara serius berarti persis sama buta dan tersesatnya dengan semua anggota partai komunis yang menganggap bahwa Uni Soviet merupakan sebuah negeri sosialis sampai hari kejatuhannya.

Affinitas #1

CATATAN KAKI:


[1] 1. V.I. Lenin «Left wing childishness and petty –bourgeois mentality", h

[2] 2. V.I. Lenin «The threatening catastrophe and how to fight it", u

[3] 3. M. Brinton «The Bolsheviks and workers control» page 38,r

[4] 4. M. Brinton page 38

[5] , 5. Brinton, page 39,s

[6] 6. Brinton, page 40,t

[7] 7. D. Guerin «Anarchism", page 101, r

[8] 8. Brinton, page 78,i

[9] 9. Guerin,kpage 91,es

[10] 10. Brinton, page 41

[11] 11. Brinton, page 43

[12] 12. Brinton, page 61, o

[13] 13. Brinton, page 63, f

[14] 14. Brinton, page 65

[15] 15.1981 for politic a,

[16] 16. I. Deutscher, «The Prophet Armed» pages 500-07

[17] 17. Ida Mett,"The Kronstadt Uprising", page 38

[18] 18. A. Berkman, «Nestor Makhno", page 25

[19] 19. quoted by Voline «The Unknown Revolution", page 572

[20] 20. P. Berland, « Makhno », Le Temps, 28 Aug, 1934

[21] 21. Lenin, Selected Works, vol IX, p. 98

[22] 22. Deutscher, The Prophet Armed, page 511

[23] 23. Labour Review, vol V, No. 3

[24] 24. I. Mett, page 51

all article from : http://cnt-ait.info/article.php3?id_article=864

Dari AQIDAH ke REVOLUSI


Islam diwahyukan ke bumi tak sekadar sebagai sistem ibadah atau religius an sich, melainkan juga sebagai instrumen pencarian keadilan serta kebenaran yang hakiki untuk menghadapi hidup di dunia yang penuh tantangan. Islam memberikan kehidupan yang beradab, kedamaian, keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan bagi masyarakat penganutnya serta lingkungan sekitarnya (rahmatan lil alamin).

Islam juga menghapus segala bentuk ketidakadilan yang kerap melahirkan proses penindasan antarsesama manusia dan mencederai nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Alquran juga senantiasa menuntut manusia berbuat adil (QS 7: 29, dan QS 49: 9, QS 49: 9). Dalam QS 5: 8, malah menegaskan keterkaitan antara sikap adil dengan taqwa.

Menurut Ibnu Taimiyah, keadilan ekonomi, politik, dan sosial merupakan masalah pokok dalam ajaran agama Islam. kehidupan manusia di muka bumi akan lebih tertata dengan sistem yang berkeadilan walau disertai suatu perbuatan dosa daripada dengan sistem tirani yang zalim.

Bahkan Nawab Haedar Naqvi menandaskan bahwa keadilan sosial dalam Islam berakar pada tauhid. keyakinan kepada Tuhan secara otomatis mempunyai konsekuensi untuk menciptakan keadilan. salah satu tidak akan ada tanpa yang satumya.

Sejarah telah memberikan pelajaran berharga bagi kita tatkala pada zaman Rasulullah, Islam dapat tampil demikian luar biasa gemilang dengan risalah/misi humanisme, universalisme sehingga mampu membangun peradaban emas.

Seolah-olah, Islam menjadi ikon baru peradaban manusia di tengah-tengah peradaban materialis Romawi dan Byzantium dengan tema-tema perjuangan hak asazi manusia, faham egalitarianisme, keadilan sosial, pelestarian lingkungan, pembelaan terhadap perempuan, serta agenda kemanusiaan lainnya agar tercipta kesejahteraan sosial, masyarakat yang baik serta taraf kehidupan yang tinggi. Penelitian Marshall G S Hodgson dalam The Venture of Islam menarik untuk dicermati.

Menurutnya, doktrin Alquran yang berbunyi "Engkau telah menjadi umat terbaik yang pernah dimunculkan untuk manusia, menganjurkan kebaikan (ma'ruf) seraya mencegah keburukan (munkar) dan percaya kepada Tuhan" (QS 3: 110) telah mendorong kaum Muslim untuk menciptakan sebuah tatanan sosial yang berkeadilan, sehingga menjadi center of the world.

Islam bersama elemen-elemen lain seperti ideologi, isme-isme, religion, seni, sastra, serta sains dan teknologi saling bahu-membahu membangun peradaban yang unggul. Hal serupa juga dikemukakan oleh Mahmud Muhammad Thaha.

Indonesia merupakan salah satu negara yang sumber daya alamnya melimpah ruah. Tak ketinggalan, mayoritas penduduknya yang beragama Islam, juga telah menjadikan Indonesia sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia.

Naifnya, sumber daya yang ada hanya menjadi kue rebutan negara-negara kolonial yang kerap mengakibatkan bencana ekologi dan kemiskinan. Tatanan masyarakatnya amburadul, tidak ada kesejahteraan ekonomi, politik, maupun sosial. Di samping kekerasan dan kejahatan yang merajalela, tingkat kesehatan dan pendidikan masyarakat pun dirasakan sangat minim.

Tragisnya, paham-paham keagamaan yang ada malah saling terlibat percekcokan tentang hal-hal yang tidak perlu dalam tataran teologis yang abstrak. Sering pula terjadi tawuran lantaran saling berebut lahan kekuasaan dan politik pragmatis semata. Akibatnya energi umat Islam habis terbuang sia-sia tanpa hasil yang berarti.

Lebih lanjut, menurut pengamatan penulis, hampir sebagian besar negara-negara yang berpenduduk Muslim berada di bawah tekanan dan ketergantungan negara-negara kolonialis. Bahkan, negara kaya minyak sekalipun seperti Arab Saudi dan beberapa negara pengekspor minyak lainnya tak luput dari keadaan serupa.

Berkenaan dengan kondisi kemiskinan negara-negara Muslim tadi, mengapa hingga kini masih sering terjadi pertikaian antarmazhab dalam perkara teologis yang sebenarnya tidak cukup mendasar?

Di mana peran agama Islam dalam menciptakan kesejahteraan masyarakatnya? Bagaimana respon Islam terhadap problem kemiskinan dan kebangkrutan sosial itu? Apakah pemikiran keagamaan yang ada selama ini sudah mampu mewadahi dan memberikan jalan keluar terhadap problem tersebut, sehingga mampu mentransformasikan gagasan Islam itu?

Dalam konteks dunia Islam sekarang, khususnya Indonesia, nilai-nilai luhur ajaran Islam belum dapat ditransformasikan dengan sempurna. Idealitas pesan wahyu tidak lagi diwujudkan sebagai instrumen yang memihak kepada masyarakat lemah (mustad'afin).

Penyebabnya ada dua faktor, yaitu konsep teologi yang tidak selaras dengan etika wahyu (Al quran), serta penafsiran terhadap teks suci yang kurang memperhatikan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan. Tradisi pemikiran Islam yang dianut masyarakat masih senang berkutat pada persoalan teologis teoretis, wahyu, kedaulatan Tuhan an sich dan belum merambah kepada persoalan-persoalan empirik yang benar-benar dihadapi oleh manusia sekarang.

Tradisi pemikiran Islam jatuh dalam lubang teosentrisme dan jauh dari sifatnya yang humanis dan universal demi manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Akibatnya, gagasan tentang kesejahteraan sosial, kampanye antikemiskinan, semangat egaliterianisme, pluralisme, dan penegakan HAM baru dalam level ide dan slogan semata.

Penyelewengan atau penyimpangan terhadap konsep itu hanya dihukum secara moral "tidak baik" tanpa ada tindakan pemulihan yang jelas. Padahal Alquran telah menegaskan bahwa kefakiran cenderung kepada kekufuran. Penyelewengan terhadap pesan dan idealitas Alquran dianggap sebagai syirik muamalah

Sementara itu, perkembangan mutakhir pemikiran keislaman pun juga belum menunjukkan kemajuan yang lebih berarti. Dalam praktiknya, pemikiran Islam malah terbagi dalam dua kubu ekstrem yang saling berjauhan dan bertentangan. Di satu pihak muncul fenomena pemikiran yang bercorak fundamental dan konservatif.

Pemikiran dengan langgam yang pertama ini hanya disibukkan dengan gerakan purifikasi Islam lewat gagasan kembali kepada Alquran dan Sunnah. Ia terjebak dalam kebanggaan yang berlebihan terhadap kejayaan sejarah masa lampau, sehingga menjadi antiterhadap modernitas dan perkembangan sejarah yang selalu dinamis. Ia menganggap bahwa semua problem sosial dan kemasyarakatan akan selesai hanya dengan mengembalikan kepada teks yang tertulis dalam nash Alquran dan Sunnah tersebut.

Sedangkan di pihak lain muncul gagasan Islam liberal. Namun, kenyataannya Islam liberal terus sibuk dengan memproduksi isu dan wacana yang jauh dari realitas kebutuhan masyarakat. Ia kerap menjadi simbol elitisme dan kemewahan kaum pelajar kota, sehingga pada level tertentu dianggap abai terhadap misi sesungguhnya Islam sebagai sumber ide transformasi sosial untuk membebaskan rakyat, baik oleh kapitalisme global maupun lokal yakni negara dan pemilik modal.

Alhasil, gagasan transformasi sosial tersebut menjadi mandek, mandul, dan kehilangan ruh serta daya geraknya. Tanpa kita sadari, telah terjadi kesenjangan yang luar biasa antara nila-nilai universal diturunkannya Islam dengan kondisi realitas penganutnya. Kondisi seperti ini bila tidak segera ditangani dapat mengakibatkan hilangnya sifat "rahmatan lil alamin", sehingga Islam akan ditinggalkan penganutnya.

Guna menjembatani adanya kesenjangan yang cukup lebar antara idealitas ajaran Islam dengan realitas kondisi pemeluknya yang miris akibat krisis sosial, maka pendapat Hassan Hanafi dalam bukunya "Dari Akidah Ke Revolusi" (Paramadina, 2003) menarik untuk dikutip di sini.

Menurutnya, kini sangat dibutuhkan kritik terhadap teologi lama baik dari segi objek kajian maupun metodologinya. Sebab, menurutnya, teologi yang ada dan berkembang dari ulama terdahulu sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan kekinian.

Dari segi objek kajian saja, teologi hanya bicara masalah semantik ketuhanan, sifat ma'shum nabi, atau masalah akal versus wahyu dan qadim atau hadisnya Alquran. Sedangkan dari segi metologinya, teologi tradisional tidak dilengkapi dengan perangkat ilmu-ilmu sosial dan perkembangan teknologi yang mutakhir.

Pemahaman terhadap cita-cita ideal agama tidak bisa cukup dipahamani tanpa dihadapkan pada problem kemanusiaan. Saya kira, sangat menarik pula untuk diungkapkan pendapat Kuntowijoyo dalam "Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi" (Mizan, 1993) yang menekankan perlunya orientasi dan paradigma baru, baik dalam tataran pemahaman keagamaan maupun konsep teologi yang ada. Sehingga gagasan transformasi Islam bisa dijalankan dengan sempurna

Untuk itulah, dalam rangka mengembalikan kembali cita-cita Islam yang belum dilaksanakan karena teredusir dan terdistorsi akibat penafsiran yang tidak utuh, menurut Kuntowijoyo, diperlukan program pembaharuan pemikiran untuk reaktualisasi/transformasi Islam untuk masa sekarang dan yang akan datang.

Pertama, perlunya dikembangkan penafsiran struktural yang lebih dari pada penafsiran individual dalam memahami ketentuan-ketentuan Alquran. Larangan untuk hidup berfoya-foya, misalnya, harus dipahami sebagai perintah untuk menyelidiki sebab-sebab struktural yang mengakibatkan terjadinya konsentrasi dan monopoli kekayaan oleh segelintir orang.

Kedua, mengubah cara berfikir secara subjektif ke cara berfikir objektif. Tentang perintah zakat, misalnya, tidak cukup dipahamani secara subjektif sebagai alat untuk membersihakan diri. Lebih dari itu, zakat haruslah lebih dioptimalkan pada tujuan utamanya; kesejahteraan sosial dan pemerataan ekonomi. Dari tujuan seperti ini, zakat lebih bisa dikembangkan menjadi budaya filantropi/berderma yang tidak terbatas pada apa yang tertulis dalam nash.

Ketiga, mengubah Islam yang normatif menjadi teoretis. Sebab, kecenderungan yang berkembang selama ini hanyalah penafsiran Alquran secara normatif tanpa memperhatikan kemungkinannya bagi rumusan teoretis. Sebagai contohnya adalah perintah normatif Alquran untuk mengasihi dan memberikan sedekah bagi kaum fakir dan miskin, sehingga yang terjadi kemudian bisa diibaratkan hanyalah sebatas memberi ikan.

Padahal bila dikembangkan secara teoretis, maka konsep fakir dan miskin itu sejatinya merupakan perintah untuk menerangi adanya ketimpangan sosial (social inequality) dan menegakkan keadilan di semua level kehidupan.

Keempat, mengubah pemahaman yang a-historis menjadi historis. Kisah-kisah yang tertuang dalam Alquran seperti hijrah Muhammad dari Makkah ke Madinah bukanlah sekadar pindah begitu saja.

Melainkan harus ditafsirkan sebagai upaya Muhammad dan penganutnya untuk membebaskan diri menuju kepada wilayah yang lebih menjanjikan kehidupan dan masa yang lebih cerah dengan sebuah ideologi Islam murni dalam bingkai negara yang dijanjikan di akhir zaman. Jadi, memang diperlukan pemahaman dan penafsiran yang lebih kontekstual berkaitan dengan doktrin Islam secara keseluruhan. 

Alumnus PP Futuhiyyah Demak, Jawa Tengah dan
Mahasiswa Program Internasional Al Azhar-UIN Syahid Jakarta
( Ilham Mundzir)

aku ditahun 2020


Pada 1 Januari 2020, saya terbangun menjelang matahari memancarkan sinarnya. Saya tak bisa lagi begadang manikmati malam tutup tahun. Seperti biasa, saya menyimak berita dari berbagai penjuru dunia. Computer mini saya otomatis memilah-milah berita favorit saya.

Sambil meneguk kopi Arabica yang berasal para pekebun di Sumatra, saya duduk dikursi rotan cantik buatan pengrajin Kalimantan. Berita favorit saya, berita ekonomi hasil hutan non kayu. Karena saya menginvestasikan pensiun saya pada perusahaan-perusahaan komunitas yang memproduksi berbagai produk perkebunan dan hutan.

Selama lima tahun terakhir, ekspor produk hasil hutan non kayu mencetak angka tertinggi dibanding industri lainnya. Lebih dari 25 juta keluarga aktif terlibat dalam budidaya dan pengolahan hasil hutan non kayu, seperti kosmetik, buah-buah lokal, makanan sehat, obat-obatan, kerajinan tangan dan bahkan beberapa produk diolah menjadi bioenergi.

Pemimpin Negara Khilafah Rasyidah Islamiyah (NKRI) selalu memberikan penghargaan tertinggi pada para komunitas yang berhasil menyelamatkan perekonomian Indonesia. Setelah mimyak, gas, tambang, dan industri kehutanan rontok karena sumberdaya alam sudah habis dikeruk pada akhir abad ke-20 dan gagal dikelola oleh pemerintah reformasi.

Perubahan radikal terjadi melalui revolusi damai pada 2015, setelah gerakan para petani dan pekebun seluruh nusantara menolak membayar pajak. Mereka marah kepada pemerintah karena menjual kekayaan negara kepada investor asing. Gilirannya pemerintah memungut pajak gila-gilaan kepada rakyat.

Para petani dan pekebun Sistem Hutan Kerakyatan menjadi sasaran empuk pungutan pajak karena mereka berhasil meningkatkan perdagangan tradisional dengan para konsumen progresif dikota-kota besar di berbagai belahan dunia.

Para petani mampu membangun infrastuktur komunitas yang bertaraf internasional seperti sistem kesehatan komunitas, sistem pendidikan komunitas, sistem industri komunitas, sistem energi komunitas, sistem konservasi komunitas, sistem teknologi informasi komunitas dan banyak lagi. Intinya komunitas-komunitas telah menjelma manjadi kantong perekonomian yang luar biasa.

Mereka didukung oleh komunitas-komunitas urban yang progresif. Komunitas ini menjadi konsumen utama yang membelanjakan uangnya untuk membeli produk-produk komunitas kebun dan hutan.

Boleh jadi separo penduduk Indonesia sekitar 200 juta orang terlibat dalam sistem perdagangan alternatif yang lebih adil. Bahkan beberapa kantong masyarakat yang radikal mereka enggan menggunakan mata uang rupaih, mereka mencipta mata uang sendiri dan digunakan menjadi alat tukar yang sah antar-komunitas.

Presiden terpilih pasca revolusi rakyat adalah anak seorang pejuang petani dan pekebun yang mengecap pendidikan di berbagai negara di Amerika Latin, Eropa Timur, China dan Afrika Selatan.

Selama belajar, ia membangun jaringan lintas negara . Ia pun memiliki relasi bagus dengan para pemilik perusahaan besar di negara-negara utara. Ia kemudian memperjuangkan sistem perdagangan alternatif untuk membantu negara-nagara miskin keluar dari belenggu utang.

Ia bukan membangun perusahan internasional melainkan translokal. Ia menyebutnya multilokal yang berakar pada perusahaan-perusahaan komunitas. Maka tidak heran bila banyak komunitas memiliki perwakilan dagang di berbagai negara.

Ia pun mengubah sistem pendidikan komunitas. Dalam waktu sepuluh tahun, komunitas-komunitas kampung di Indonesia telah menghasilkan 10 ribu doktor di berbagai bidang. Para dokter kampung ini menjadi pemikir dan penegembangan gagasan kampung yang berwawasan teknologi tinggi yang murah.

Semua kampung telah memiliki jaringan internet, telepon, radio, dan televisi melalui satelit. Mereka menyewa sebuah satelit bersama dengan beberapa komunitas di Asia Tenggara. Para dokter ini membuat komunikasi antar komunitas menjadi murah bahkan gratis.

Pada saat terpilih menjadi presiden. Ia meminta parlemen mengubah nama Republik Indonesia menjadi Negara Khilafah Rasyidah Islamiyah. Nama baru ini telah menghantarkan Indonesia menjadi negara baru yang disegani karena mampu keluar dari belenggu utang.

Perundingan dengan para negara kreditor dilakukan oleh para perunding ulung lintas negara dari organisasi-organisasi petani dan pekebun. Mereka meyakinkan negara kreditor bagaimana menyelamatkan perekonomian dunia melalui mekanisme yang lebih adil.

Para negara kreditor pada akhirnya tidak ada pilihan lain kecuali sepakat mengkonversi utang menjadi ivestasi jangka panjang. Indonesia tertolong dengan program konversi utang baru. Indonesia bisa membelanjakan anggarannya bagi pembangunan infrastuktur sosialnya.

Program ini mampu membangun kepercayaan rakyat dan investor. Indonesia telah menjelma menjadi negara persemakmuran. Keselamatan rakyat terjamin! Ini buah yang dicita-citakan saat Indonesia memutuskan merdeka pada 1945.

Ketika Karl Mark masuk ISLAM

?Saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa keadilan dan kesetaraan adalah utusan Allah?

?Salah, yang bener, Saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.?

?Nggak mau, semua manusia itu utusan Allah.

?
Cak Joko geleng-geleng. Ya, yang geleng-geleng itu Cak Joko, Jokocholish Madjid. Siapa pula yang baru masuk Islam tapi ngeyel itu.

?Baiklah kalau maumu begitu, tapi ingat menjadi Islam itu berat. Menebarkan keselamatan kepada semua makhluk hidup, menjadi rahmat bagi seluruh alam.?

?Baik, Kamerad?


?Hush, jangan panggil aku kamerad. Panggil aku Cak Joko?


?Ya, Cak Joko.

?
Mengherankan, yang masuk Islam itu mempunyai tattoo palu arit di lengannya.

Akhirnya mereka berdua berjalan-jalan. Tujuan mereka ternyata sebuah pemukiman kumuh di pinggiran Jakarta.

?Nah, Marx. Kau lihat sendiri nasib bangsaku ini, mereka bermegah-megah dalam nama Islam, tetapi nasib para miskin dan papa ini tidak diperhatikan sama sekali. Politik hanyalah perkelahian memperebutkan jabatan. Banyak partai berlandaskan Islam tapi kelakuannya seperti partai berasaskan setan.

Pesan besar Muhammad tidak ada yang mengerti, yang mereka mengerti hanya yang normatif saja, syahadat, sholat, puasa, haji, sedangkan zakat pun kebanyakan lupa tidak menunaikannya. Substansi ajaran dilupakan, ribut sehari-hari masalah simbol. Kau lihat betapa masjid bertebaran dimana-mana, tapi adakah masjid yang menampung orang-orang miskin dan melindungi orang-orang yang dizolimi, tidak ada Marx. Masjid itu justru menzolimi mereka.

?
Oohh, ternyata yang bersama Cak Joko itu Marx, itu tuh pendiri paham komunisme yang tersohor.

?Islam itu indah Marx, seharusnya kau tahu itu dari dulu. Islam berusaha mewujudkan masyarakat adil makmur, dengan toleransi dan sistem sosialisme berupa distribusi kesejahteraan yang jelas. ?

?Cak Joko, sudahlah jangan berkhotbah. Agama yang telah diinstitusionalisasi semuanya korup dan represif, aku tidak tertarik agama semacam itu. AKu menjadi muslim hanya karena aku paham keinginan Muhammad untuk membentuk masyarakat sejahtera lahir batin, dengan sistematis melalui strategi politik. Keinginanku dan keinginannya tidak jauh berbeda, dimana tidak kutemukan di pemimpin agama lain baik itu Yesus, Musa, Zarathustra, bahkan Sidharta sekalipun. Kebanyakan pemimpin agama hanya pasif dan tidak bertindak strategis dan sistematik. Muhammad menggabungkan kebertuhanannya dalam pesan membumi yang jelas, aku sendiri belum tahu apakah Tuhan itu ada, tapi yang jelas menjadi ateis seperti aku dulu juga terlalu jauh.?


?Kau kira aku pun Islam?

?, jangan salah Marx. Jujur saja ya, sebenarnya aku muak pula dengan Islam, apalagi Islam konservatif ala
Indonesia. Tapi bagaimana lagi, aku bisa lebih berbuat untuk memajukan bangsa ini kalau aku masih memakai label Islam, jika aku keluar dari Islam terang-terangan, dengan gampang mereka akan menyingkirkanku dari percaturan peradaban Indonesia.?

?Lho, koq bisa..??


?Kau jangan pura-pura gak tahu Marx. Literatur yang kita baca gak terlalu jauh beda, aku pun banyak baca bukumu Marx. Tapi sekali lagi hanya karena terlalu kuatnya akar agama di Indonesia ini, aku terpaksa memeluk Islam. Islam yang aku junjung tentu Islam liberal, yang walaupun nafasnya tidak Islam, tetapi masih dilabeli Islam. Tapi tetep, sejujurnya agama tak menjadi masalah bagiku.

Tapi juga jangan kira yang seperti ini aku saja, aku punya banyak kawan lain yang terpaksa bersembunyi ria dalam Islam. Gus Dur, Emha Ainun Nadjib, Ulil Abshar Abdalla, wah banyak sih sebenarnya.

?
Kini Marx yang geleng-geleng kepala. Baru saja dia memeluk Islam setelah mendengarkan cerita Cak Joko tentang Muhammad, dan dia ingin belajar lebih banyak tentang Islam. Tapi setelah Cak Joko bilang seperti itu, layaknya sudah padam keinginan itu. Islam bagi Marx adalah perjuangan kelas seperti di jaman Muhammad, selebihnya Marx tidak perduli.

? Bukankah kau sendiri pernah bilang Marx, kritik surga adalah kritik dunia, kritik agama adalah kritik politik. Agama tak lebih sekedar alat, tujuannya tentu bukan agama itu sendiri.

Tujuannya adalah rahmat bagi semesta alam, kebahagiaan lahir batin semua makhluk. Sebagaimana komunisme
kan juga alat, tujuannya sama juga kan.

?
Marx tertegun, dia terbayang sekilas perjalanannya sehingga terdampar di Indonesia. Setelah mati dalam keadaan miskin dan keluarganya kelaparan di Inggris sana, roh Marx melanglang buana kemana-mana. Sampai suatu ketika sampailah dia di Indonesia.

Dia berjalan-jalan di pelosok-pelosok, kemiskinan dan penderitaan masih mewarnai seluruh penjuru. Tapi penyebab kemiskinan bukanlah agama, tetapi sistem yang bobrok. Agama sering menjadi tumbal karena dengan agama orang memperburuk sistem yang bobrok.


?Kau tahu Marx, apa yang perlu dilakukan di Indonesia yang sudah parah ini..??


? Revolusi, tiada kata lain. Tapi revolusi damai, Rusia dan Cina telah membuka mataku bahwa komunisme radikal tidaklah juga berguna, karena human costnya terlalu besar. Yang paling penting adalah perbaikan infrastruktur politik sehingga rakyat kebanyakan yang menentukan arah pembangunan bangsa, dengan sendirinya ekonomi akan kembali dipegang oleh rakyat, bukan oleh kapitalis ataupun oleh birokrat.?


?Apa yang kau maksud perbaikan infrastruktur politik itu Marx..?

?
Cak Joko mulai mengerutkan keningnya, tanda dia sudah mulai serius mendengarkan apa yang dibilang Marx.

?Institusi politik dari bawah sampai ke atas. Karena institusi di pusat sudah tidak bisa diharapkan, yang dikembangkan adalah institusi yang ada dan berkembang di desa-desa itu. Segala bentuk perkumpulan yang berdasarkan musyawarah mufakat, toh sudah ada sebenarnya, tapi tidak digunakan secara maksimal. Terutama yang menyangkut hajat hidup orang banyak, terutama kekayaan alam, semuanya harus dikelola bersama oleh masyarakat setempat, pendatang ataupun asli tidak masalah. Kalau kekurangan modal, itu tugas negara untuk mengucurkan dananya, jangan dikucurkan lagi kepada bajingan-bajingan ekonomi yang akhirnya malah gak pada bayar utang itu.?


?Bagaimana mewujudkan itu Marx..??


?Itu tugas kita bersama Cak Joko. Penyadaran dan sekaligus rencana sistemik harus ada. Aku hanya membayangkan, bahwa permulaannya haruslah dari institusi di desa-desa yang mayoritas di
Indonesia itu. Masyarakat harus dididik untuk mandiri dan berorganisasi secara benar. Kalau tuntutannya tidak dituruti, mogok atau demonstrasi. ?

? Tidak Marx, aku rasa yang perlu dididik malah bukan rakyat. Elit politik dan middle class lah yang perlu pendidikan, mereka inilah yang bodohnya keterlaluan. Kalau perlu dibasmi saja elit-elit yang korup itu, dan middle class yang picik dan oportunis juga perlu dibasmi.?


? Lho, bagaimana ini. Aku memeluk Islam, malah sekarang Cak Joko yang mengadopsi komunisme.?


?Sekarang aku baru ingat, bahwa ketika negara sudah hancur sistemnya, satu-satunya jalan adalah kekerasan. Revolusi yang dipimpin kaum muda, seperti yang dilakukan Muhammad dulu memerangi Quraisy.?

?Cak Joko ini bagaimana,
kan sudah kubilang human costnya terlalu tinggi.? ? Lebih baik kehilangan manusia-manusia bajingan itu daripada setiap detik kehilangan anak-anak yang mati karena kelaparan.?

?Ya Cak Joko, tetapi Muhammad menggunakan kekerasan hanya kalau diperlukan saja. Bukankah Cak Joko cerita kalau Muhammad menaklukkan Mekkah akhirnya dengan damai tanpa korban terlalu banyak.?


? Sudahlah, kau tidak tahu
Indonesia. Kondisi di sini lebih parah daripada Mekkah. Jaman Muhammad musuhnya jelas, sekarang ini musuhnya justru orang-orang Islam sendiri. Revolusi atau mati..

?
Rupanya mereka berdua lupa, kalau mereka sudah mati. Roh mereka sudah tidak bisa berbuat apa-apa di dunia.