Dari AQIDAH ke REVOLUSI


Islam diwahyukan ke bumi tak sekadar sebagai sistem ibadah atau religius an sich, melainkan juga sebagai instrumen pencarian keadilan serta kebenaran yang hakiki untuk menghadapi hidup di dunia yang penuh tantangan. Islam memberikan kehidupan yang beradab, kedamaian, keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan bagi masyarakat penganutnya serta lingkungan sekitarnya (rahmatan lil alamin).

Islam juga menghapus segala bentuk ketidakadilan yang kerap melahirkan proses penindasan antarsesama manusia dan mencederai nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Alquran juga senantiasa menuntut manusia berbuat adil (QS 7: 29, dan QS 49: 9, QS 49: 9). Dalam QS 5: 8, malah menegaskan keterkaitan antara sikap adil dengan taqwa.

Menurut Ibnu Taimiyah, keadilan ekonomi, politik, dan sosial merupakan masalah pokok dalam ajaran agama Islam. kehidupan manusia di muka bumi akan lebih tertata dengan sistem yang berkeadilan walau disertai suatu perbuatan dosa daripada dengan sistem tirani yang zalim.

Bahkan Nawab Haedar Naqvi menandaskan bahwa keadilan sosial dalam Islam berakar pada tauhid. keyakinan kepada Tuhan secara otomatis mempunyai konsekuensi untuk menciptakan keadilan. salah satu tidak akan ada tanpa yang satumya.

Sejarah telah memberikan pelajaran berharga bagi kita tatkala pada zaman Rasulullah, Islam dapat tampil demikian luar biasa gemilang dengan risalah/misi humanisme, universalisme sehingga mampu membangun peradaban emas.

Seolah-olah, Islam menjadi ikon baru peradaban manusia di tengah-tengah peradaban materialis Romawi dan Byzantium dengan tema-tema perjuangan hak asazi manusia, faham egalitarianisme, keadilan sosial, pelestarian lingkungan, pembelaan terhadap perempuan, serta agenda kemanusiaan lainnya agar tercipta kesejahteraan sosial, masyarakat yang baik serta taraf kehidupan yang tinggi. Penelitian Marshall G S Hodgson dalam The Venture of Islam menarik untuk dicermati.

Menurutnya, doktrin Alquran yang berbunyi "Engkau telah menjadi umat terbaik yang pernah dimunculkan untuk manusia, menganjurkan kebaikan (ma'ruf) seraya mencegah keburukan (munkar) dan percaya kepada Tuhan" (QS 3: 110) telah mendorong kaum Muslim untuk menciptakan sebuah tatanan sosial yang berkeadilan, sehingga menjadi center of the world.

Islam bersama elemen-elemen lain seperti ideologi, isme-isme, religion, seni, sastra, serta sains dan teknologi saling bahu-membahu membangun peradaban yang unggul. Hal serupa juga dikemukakan oleh Mahmud Muhammad Thaha.

Indonesia merupakan salah satu negara yang sumber daya alamnya melimpah ruah. Tak ketinggalan, mayoritas penduduknya yang beragama Islam, juga telah menjadikan Indonesia sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia.

Naifnya, sumber daya yang ada hanya menjadi kue rebutan negara-negara kolonial yang kerap mengakibatkan bencana ekologi dan kemiskinan. Tatanan masyarakatnya amburadul, tidak ada kesejahteraan ekonomi, politik, maupun sosial. Di samping kekerasan dan kejahatan yang merajalela, tingkat kesehatan dan pendidikan masyarakat pun dirasakan sangat minim.

Tragisnya, paham-paham keagamaan yang ada malah saling terlibat percekcokan tentang hal-hal yang tidak perlu dalam tataran teologis yang abstrak. Sering pula terjadi tawuran lantaran saling berebut lahan kekuasaan dan politik pragmatis semata. Akibatnya energi umat Islam habis terbuang sia-sia tanpa hasil yang berarti.

Lebih lanjut, menurut pengamatan penulis, hampir sebagian besar negara-negara yang berpenduduk Muslim berada di bawah tekanan dan ketergantungan negara-negara kolonialis. Bahkan, negara kaya minyak sekalipun seperti Arab Saudi dan beberapa negara pengekspor minyak lainnya tak luput dari keadaan serupa.

Berkenaan dengan kondisi kemiskinan negara-negara Muslim tadi, mengapa hingga kini masih sering terjadi pertikaian antarmazhab dalam perkara teologis yang sebenarnya tidak cukup mendasar?

Di mana peran agama Islam dalam menciptakan kesejahteraan masyarakatnya? Bagaimana respon Islam terhadap problem kemiskinan dan kebangkrutan sosial itu? Apakah pemikiran keagamaan yang ada selama ini sudah mampu mewadahi dan memberikan jalan keluar terhadap problem tersebut, sehingga mampu mentransformasikan gagasan Islam itu?

Dalam konteks dunia Islam sekarang, khususnya Indonesia, nilai-nilai luhur ajaran Islam belum dapat ditransformasikan dengan sempurna. Idealitas pesan wahyu tidak lagi diwujudkan sebagai instrumen yang memihak kepada masyarakat lemah (mustad'afin).

Penyebabnya ada dua faktor, yaitu konsep teologi yang tidak selaras dengan etika wahyu (Al quran), serta penafsiran terhadap teks suci yang kurang memperhatikan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan. Tradisi pemikiran Islam yang dianut masyarakat masih senang berkutat pada persoalan teologis teoretis, wahyu, kedaulatan Tuhan an sich dan belum merambah kepada persoalan-persoalan empirik yang benar-benar dihadapi oleh manusia sekarang.

Tradisi pemikiran Islam jatuh dalam lubang teosentrisme dan jauh dari sifatnya yang humanis dan universal demi manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Akibatnya, gagasan tentang kesejahteraan sosial, kampanye antikemiskinan, semangat egaliterianisme, pluralisme, dan penegakan HAM baru dalam level ide dan slogan semata.

Penyelewengan atau penyimpangan terhadap konsep itu hanya dihukum secara moral "tidak baik" tanpa ada tindakan pemulihan yang jelas. Padahal Alquran telah menegaskan bahwa kefakiran cenderung kepada kekufuran. Penyelewengan terhadap pesan dan idealitas Alquran dianggap sebagai syirik muamalah

Sementara itu, perkembangan mutakhir pemikiran keislaman pun juga belum menunjukkan kemajuan yang lebih berarti. Dalam praktiknya, pemikiran Islam malah terbagi dalam dua kubu ekstrem yang saling berjauhan dan bertentangan. Di satu pihak muncul fenomena pemikiran yang bercorak fundamental dan konservatif.

Pemikiran dengan langgam yang pertama ini hanya disibukkan dengan gerakan purifikasi Islam lewat gagasan kembali kepada Alquran dan Sunnah. Ia terjebak dalam kebanggaan yang berlebihan terhadap kejayaan sejarah masa lampau, sehingga menjadi antiterhadap modernitas dan perkembangan sejarah yang selalu dinamis. Ia menganggap bahwa semua problem sosial dan kemasyarakatan akan selesai hanya dengan mengembalikan kepada teks yang tertulis dalam nash Alquran dan Sunnah tersebut.

Sedangkan di pihak lain muncul gagasan Islam liberal. Namun, kenyataannya Islam liberal terus sibuk dengan memproduksi isu dan wacana yang jauh dari realitas kebutuhan masyarakat. Ia kerap menjadi simbol elitisme dan kemewahan kaum pelajar kota, sehingga pada level tertentu dianggap abai terhadap misi sesungguhnya Islam sebagai sumber ide transformasi sosial untuk membebaskan rakyat, baik oleh kapitalisme global maupun lokal yakni negara dan pemilik modal.

Alhasil, gagasan transformasi sosial tersebut menjadi mandek, mandul, dan kehilangan ruh serta daya geraknya. Tanpa kita sadari, telah terjadi kesenjangan yang luar biasa antara nila-nilai universal diturunkannya Islam dengan kondisi realitas penganutnya. Kondisi seperti ini bila tidak segera ditangani dapat mengakibatkan hilangnya sifat "rahmatan lil alamin", sehingga Islam akan ditinggalkan penganutnya.

Guna menjembatani adanya kesenjangan yang cukup lebar antara idealitas ajaran Islam dengan realitas kondisi pemeluknya yang miris akibat krisis sosial, maka pendapat Hassan Hanafi dalam bukunya "Dari Akidah Ke Revolusi" (Paramadina, 2003) menarik untuk dikutip di sini.

Menurutnya, kini sangat dibutuhkan kritik terhadap teologi lama baik dari segi objek kajian maupun metodologinya. Sebab, menurutnya, teologi yang ada dan berkembang dari ulama terdahulu sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan kekinian.

Dari segi objek kajian saja, teologi hanya bicara masalah semantik ketuhanan, sifat ma'shum nabi, atau masalah akal versus wahyu dan qadim atau hadisnya Alquran. Sedangkan dari segi metologinya, teologi tradisional tidak dilengkapi dengan perangkat ilmu-ilmu sosial dan perkembangan teknologi yang mutakhir.

Pemahaman terhadap cita-cita ideal agama tidak bisa cukup dipahamani tanpa dihadapkan pada problem kemanusiaan. Saya kira, sangat menarik pula untuk diungkapkan pendapat Kuntowijoyo dalam "Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi" (Mizan, 1993) yang menekankan perlunya orientasi dan paradigma baru, baik dalam tataran pemahaman keagamaan maupun konsep teologi yang ada. Sehingga gagasan transformasi Islam bisa dijalankan dengan sempurna

Untuk itulah, dalam rangka mengembalikan kembali cita-cita Islam yang belum dilaksanakan karena teredusir dan terdistorsi akibat penafsiran yang tidak utuh, menurut Kuntowijoyo, diperlukan program pembaharuan pemikiran untuk reaktualisasi/transformasi Islam untuk masa sekarang dan yang akan datang.

Pertama, perlunya dikembangkan penafsiran struktural yang lebih dari pada penafsiran individual dalam memahami ketentuan-ketentuan Alquran. Larangan untuk hidup berfoya-foya, misalnya, harus dipahami sebagai perintah untuk menyelidiki sebab-sebab struktural yang mengakibatkan terjadinya konsentrasi dan monopoli kekayaan oleh segelintir orang.

Kedua, mengubah cara berfikir secara subjektif ke cara berfikir objektif. Tentang perintah zakat, misalnya, tidak cukup dipahamani secara subjektif sebagai alat untuk membersihakan diri. Lebih dari itu, zakat haruslah lebih dioptimalkan pada tujuan utamanya; kesejahteraan sosial dan pemerataan ekonomi. Dari tujuan seperti ini, zakat lebih bisa dikembangkan menjadi budaya filantropi/berderma yang tidak terbatas pada apa yang tertulis dalam nash.

Ketiga, mengubah Islam yang normatif menjadi teoretis. Sebab, kecenderungan yang berkembang selama ini hanyalah penafsiran Alquran secara normatif tanpa memperhatikan kemungkinannya bagi rumusan teoretis. Sebagai contohnya adalah perintah normatif Alquran untuk mengasihi dan memberikan sedekah bagi kaum fakir dan miskin, sehingga yang terjadi kemudian bisa diibaratkan hanyalah sebatas memberi ikan.

Padahal bila dikembangkan secara teoretis, maka konsep fakir dan miskin itu sejatinya merupakan perintah untuk menerangi adanya ketimpangan sosial (social inequality) dan menegakkan keadilan di semua level kehidupan.

Keempat, mengubah pemahaman yang a-historis menjadi historis. Kisah-kisah yang tertuang dalam Alquran seperti hijrah Muhammad dari Makkah ke Madinah bukanlah sekadar pindah begitu saja.

Melainkan harus ditafsirkan sebagai upaya Muhammad dan penganutnya untuk membebaskan diri menuju kepada wilayah yang lebih menjanjikan kehidupan dan masa yang lebih cerah dengan sebuah ideologi Islam murni dalam bingkai negara yang dijanjikan di akhir zaman. Jadi, memang diperlukan pemahaman dan penafsiran yang lebih kontekstual berkaitan dengan doktrin Islam secara keseluruhan. 

Alumnus PP Futuhiyyah Demak, Jawa Tengah dan
Mahasiswa Program Internasional Al Azhar-UIN Syahid Jakarta
( Ilham Mundzir)

Tidak ada komentar: