Pada pidato politik, 31 Januari lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan sebuah rencana besar yakni rencana untuk melaksanakan reforma agraria (land reform). Secara tegas SBY mengatakan, mulai tahun ini pemerintah akan membagikan tanah bagi rakyat miskin. Prinsipnya tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat. Hal yang melatarbelakangi rencana tersebut ialah bahwa saat ini angka kemiskinan mencapai 39,5 juta, angka pengangguran 11,1 juta, pengangguran terbuka mencapai 29,9 juta. (Data Badan Pusat Statistik).
Rencana program reforma agraria di Indonesia sebenarnya sudah berjalan lama. Hanya perjalanannya mengalami kemandekan. Meski begitu, pemerintah terus berupaya melakukan rencana ini. Terbukti dengan lahirnya TAP MPR RI No IX/2001 yang diperkuat dengan Keputusan MPR RI No 5/2003 bahwa harus diadakan pembaruan agraria. Menurut Deputi Pengaturan dan Penataan Pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN), Yuswanda A Tamenggung, dengan adanya program ini diharapkan mampu menata ketimpangan yang terjadi dalam penguasaan kepemilikan, mengurangi pengangguran, kemiskinan, serta menyelesaikan konflik sengketa tanah yang hingga kini sudah cukup banyak (Koran Seputar Indonesia, 18 Februari 2007)
Program ini seolah akan segera merealisasikan ‘mimpi’ petani miskin. Bagaimanakah Islam memandang masalah ini? Dan adakah solusi Islam mengenai masalah pertanahan?
Sejarah Land Reform
Menurut pakar agraria, Gunawan Wiradi yang kini menjabat sebagai Penasihat Pusat Kajian Agraria Institut Pertanian Bogor (IPB), usia pembaruan agraria sudah mencapai lebih dari 2500 tahun. Kata ‘land reform’ yang pertama di dunia, dikenal pada zaman Yunani Kuno, 594 tahun sebelum Masehi. Bahkan, slogan land to the tillers (tanah untuk penggarap) sudah menggema selama 565 tahun sebelum Masehi.
Selanjutnya, melalui tonggak-tonggak sejarah: ‘land reform’ di zaman Romawi Kuno (134 SM), gerakan pencaplokan tanah-tanah pertanian oleh peternak biri-biri di Inggris berlangsung kurang lebih selama lima abad, dan Revolusi Perancis (1789-1799), maka sejak itu hampir semua negara-negara di Eropa melakukan ‘land reform’. Apalagi setelah Perang Dunia Kedua, pembaruan agraria dilakukan dimana-mana, baik di Asia, Afrika, dan Amerika.
Politik Pertanahan Menurut Islam
Tanah merupakan faktor produksi paling penting yang menjadi bahan kajian paling serius para ahli ekonomi, karena sifatnya yang khusus yang tidak dimiliki oleh faktor produksi lainnya. Sifat itu antara lain tanah dapat memenuhi kebutuhan pokok dan permanen manusia, tanah kuantitasnya terbatas dan tanah bersifat tetap. Sifat lainnya ialah tanah bukan produk tenaga kerja. Segala sesuatu yang lain adalah produk tenaga kerja kecuali tanah. Di dalam masyarakat, permasalahan tanah juga telah menjadi penyebab pertentangan, pertikaian, dan pertumpahan darah di dalam masyarakat atau antar masyarakat. Tanah juga memberi andil besar dalam perubahan struktur dan sistem masyarakat. Sistem ekonomi kapitalisme maupun sosialisme dalam hal ini sedikit banyak dipicu karena kecemburuan sosial terhadap orang-orang yang memiliki tanah karena hak-hak istimewa dan menjadikannya sebagai alat eksploitasi masyarakat.
Pemilikan tanah dianggap sebagai tipe kepemilikan yang par excellence (paling istimewa) di negara-negara kapitalis. Tanah boleh dimiliki individu seluas-luasnya, bahkan menyewakan kepada masyarakat dengan harga sewa dan harga jual yang dilakukan sewenang-wenang. Akibatnya cukup serius, harga bahan pokok naik dan inflasi terjadi. Bagi negara, tanah menjadi lahan subur bagi perolehan pajak.
Namun pemilikan atas tanah secara individu justru tidak diakui dalam masyarakat sosialis. Para petani dan kaum buruh dilarang mengambil nilai tambah dari hasil kerjanya, dan statusnya semata-mata sebagai buruh tani. Sistem ini secara factual menimbulkan ketimpangan ekonomi dan menjadikan negara-negara sosialis gagal mencapai swasembada pangan pada pertengahan abad kedua puluh. Mereka masih tergantung kepada negara lain untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Kebutuhan-kebutuhan Rusia dipasok oleh Amerika Serikat sedangkan kebutuhan China didatangkan dari Australia dan Canada.
Hingga kini persoalan kepemilikan tanah masih tetap belum terjawab oleh ekonom kapitalis dan sosialis. Namun, persoalan ini telah lama mampu dijawab oleh system ekonomi Islam.
Mekanisme Penguasaan Tanah
Hingga kini persoalan kepemilikan dan penguasaan tanah masih menjadi agenda utama perekonomian. Di beberapa negara feodal dimana tanah banyak dikuasai oleh tuan tanah, ketimpangan kepemilikan dipecahkan dengan land reform. Jepang, Korea selatan dan Taiwan adalah negara yang paling intens dalam sejarah modern yang menjalankan land reform setelah perang dunia kedua. Land reform dijalankan dengan tujuan menghapuskan secara psikologis dan materiil tuan-tuan tanah yang menjadi motor penggerak di belakang negara-negara ini untuk mengobarkan perang. Reformasi ini berdampak sangat jauh dalam mempersamakan distribusi pendapatan di pedesaan dan turut menjaga perbedaan pendapatan antara kota dan desa sehingga menjadi lebih sempit daripada negara lain. Akibat reformasi ini, kekuatan kaum feodal menjadi hancur, meniadakan persewaan tanah pertanian dan membatasi kepemilikan tanah garapan.
Sistem ekonomi Islam memandang kepemilikan tanah harus diatur sebaik-baiknya karena mempengaruhi rangsangan produksi. Islam secara tegas menolak sistem pembagian penguasaan tanah secara merata di antara seluruh masyarakat sebagaimana yang menjadi agenda land reform. Namun demikian, Islam juga tidak mengijinkan terjadinya penguasaan tanah secara berlebihan di luar kemampuan untuk mengelolanya. Karena hukum-hukum seputar tanah dalam pandangan Islam memiliki karakteristik yang khas dengan adanya perbedaan prinsiip dengan sistem ekonomi lainnya.
Sistem ekonomi Islam mengakui tanah termasuk dalam kepemilikan individu apabila tidak ada unsur-unsur yang menghalanginya seperti terdapat kandungan bahan tambangn atau dikuasai oleh negara. Ketika kepemilikan ini dianggap sah secara syariah, maka pemilik tanah memiliki hak untuk mengelolanya maupun memindahtangankan secara waris, jual beli dan pembelian. Sebagaimana kepemilikan individu lainnya, kepemilikan atas tanah ini bersifat pasti tanpa ada pihak lain yang dapat mencabut hak-haknya. Negara melindungi harta milik warga negara dan melindunginya dari ancaman gangguan pihak lain.
Dengan demikian, kepemilikan atas tanah dapat dilakukan dengan prinsip yang sama dengan komoditas lainnya. Tanah dapat dikuasai dengan waris, hadiah, dan jual beli sebagaimana komoditas lainnya pun dapat dilakukan dengan transaksi ini. Namun demikian, system ekonomi islam juga telah menetapkan mekanisme lainnya dalam penguasaan tanah secara khusus yaitu menghidupkan tanah mati dan pemberian oleh negara.
Menghidupkan Tanah Mati
Menghidupkan tanah mati (ihya’ul mawat) artinya mengelola atau menjadikan tanah mati agar siap ditanami. Yang dimaksud tanah mati adalah tanah yang tidak tampak dimiliki seseorang, dan tidak terdapat tanda-tanda apapun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan, ataupun yang lainnya. Tanah mati yang telah dihidupkan oleh seseorang akan menjadi milik orang yang bersangkutan. Hak kepemilikan ini ditetapkan berdasarkan beberapa hadits Rasulullah saw.
“Siapa saja yang telah mengelola sebidang tanah, yang bukan menjadi hak orang lain, maka dialah yang lebih berhak.” (HR. Imam Bukhari dari Aisyah)
“Siapa saja yang telah memagari sebiidang tanah dengan pagar, maka tanah itu adalah miliknya.” (HR. Abu Daud)
“Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati maka tanah itu adalah miliknya.” (HR. Imam Bukhari)
Seseorang yang telah menghidupkan tanah mati, maka ia berhak atas kepemilikannya beserta hak-hak lain sebagai konsekuensi kepemilikan. Pemilik tanah berhak memperoleh manfaat tanah, mengelolanya, mendapatkan harga dari hasil penjualannya, melakukan pertukaran atas tanah tersebut, mewariskan kepada ahli warisnya, sebagimana kepemilikan-kepemilikan yang lain.
Mekansime menguasai tanah dengan cara menghidupkan tanah mati tidak memerlukan izin dari negara. Sebab perkara-perkara yang dimubahkan tidak perlu minta izin dari imam (khalifah).
Pemberian Negara
Pemberian negara (iqtha’) adalah memberikan tanah yang sudah dikelola dan siap untuk langsung ditanami, atau tanah yang nampak sebelumnya telah dimiliki oleh seseorang. Dengan kata lain, mekanisme ini hanya berlaku pada tanah yang tidak mati. Pemberian tanah oleh negara juga disertai dengan penganugerahan hak kepemilikan secara utuh. Pemiliknya bebas mengguanakan dan mengalihkan haknya kepada orang lain. Baidhuri melaporkan bahwa pemberian Rasulullah kepada Bilal ibn al Harits oleh Rasulullah telah dijual oleh ahli warisnya kepada Umar. Hal ini memberikan gambaran tentang jangkauan kepemilikan ini.
Pemberian tanah oleh negara dalam pengertian diatas, memiliki pengertian yang berbeda dengan system pemberian tanah (land reform) dalam system feodalisme. Karena system ini bersifat khas dengan dilandasi semangat sosialisme yang tidak pernah diakui kebenarannya dalam Islam Sistem ini dilakukan negara dengan memberikan tanah kepada orang yang dikehendaki sesuai kebijakan yang tepat pada masa itu. Tentu, prinsip pokok yang harus menjadi pertimbangan adalah mengutamakan kepada orang-orang yang membutuhkan dan memiliki kemampuan untuk mengelolanya.
Pengelolaan Lahan Pertanian
Konsepsi kepemilikan tanah mengenai tanah mati dan kemudian dapat dimiliki secara Cuma-Cuma bagi siapa saja yang menghidupkannya menyiratkan maksud tanah yang dimanfaatkan lebih disukai dibandingkan tanah yang terlantar. Sistem ekonomi manapun pasti menyadarai hal ini karena peran penting tanah sebagai faktor produksi bahan kebutuhan pokok manusia. Sistem Islam sendiri, dengan merujuk berbagai hokum seputar tanah menunjukkan perhatiannya yang besar tentang hal ini. Bahkan, pemberian tanah pertanian oleh negara dimaksudkan untuk dikelola agar dapat memberikan kontribusi penyediaan pangan dan kebutuhan pokok lainnya yang dapat dihasilkan tanah dan bukan untuk ditelantarkan. Kasus Bilal al Muzni dapat menggambarkan dorongan ini.
Yunus menceritakan dari Muhammad bin ishaq dari Abdullah bin Abu Bakar berkata: “Bilal bin Al harits Al Muzni datang kepada Rasulullah saw., lalu dia meminta sebidang tanah kepada beliau. Beliau kemudian memberikan tanah yang berukuran luas kepadanya.” Ketika pemerintahan dipimpin oleh khalifah Umar, dia (Umar) berkata kepadanya: “wahai Bilal, engkau telah meminta sebidang tanah yang luas kepada Rasulullah saw. Lalu beliau memberikannya kepadamu. Dan Rasulullah saw, tidak pernah menolak sama sekali untuk dimintai, sementara engkau tidak mampu (menggarap) tanah yang ada ditanganmu.” Bilal menjawab: “Benar.” Umar berkata: “Lihatlah, mana di antara tanah itu yang mampu kamu garap, maka milikilah. Dan mana yang tidak mampu kamu garap, serahkanlah kepada kami, dan kami akan membagikannya kepada kaum muslimin.” Bilal berkata: “Demi Allah, aku tidak akan melakukan sama sekali dan memberikan apa yang diberikan oleh Rasulullah saw.” Umar berkata: “Demi Allah, engkau hendaknya benar-benar menggarapnya.” Kemudian Umar mengambil tanah yang tidak mampu dia garap dari Bilal, lalu dia membagikan kepada kaum Muslimin.
Negara sebagai pihak yang mengontrol aktivitas ekonomi warga negaranya akan memaksa para pemilik tanah pertanian untuk mengelola tanahnya secara optimal. Langkah yang dilakukan oleh negara adalah mengambil hak kepemilikan tanah apabila orang yang bersangkutan mengabaikannya selama tiga tahun. Tanah tersebut kemudian akan diberikan kepada pihak yang membutuhkan dan sanggup untuk mengelolanya. Dengan demikian, kepemilikan tanah pada hakikatnya tidak dibatasi waktu tertentu. Tanah masih berhak untuk dimiliki dengan segala hak-hak yang menyertainya selama yang bersangkutan mengelola sesuai dengan kegunaannya. Islam hanya membatasi jangka waktu penelantaran selama masa tiga tahun. System pencabutan hak kepemilikan dan jangka waktunya ini diambil dari hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah ini.
Umar bin Khaththab r.a. mengatakan: “Orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang dipagarnya) setelah (membiarkannya) selama tiga tahun.”.
Pengambilan tanah yang ditelantarkan selama jangka waktu tiga tahun berlaku untuk semua jenis tanah pertanian baik yang diperoleh dari pembelian, waris, hadiah, pemberian negara maupun menghidupkan tanah mati. Hal ini karena illat (sebab hukum) dicabutnya tanah adalah penelantaran selama tiga tahun tanpa memandang tanah tersebut. Jadi, tiap pemilik tanah yang membiarkan tanahnya selama tiga tahun, maka tanahnya akan dicabut dan diberikan kepada orang lain, darimanapun asal pemilikan tanah tersebut. Hal ini tidak bisa dianggap telah mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Sebab, syariah telah menjadikan pemilikan tanah pertanian dengan cara dikelola. Semuanya ini adalah agar tanah tersebut selalu ditanami dan dikelola secara optimal.
Oleh karena itu, seorang pemilik tanah boleh menanami tanahnya dengan alatnya, benih, hewan dan pekerja-pekerjanya. Dia juga boleh mempekerjakan para pekerja untuk menanaminya. Apabila dia tidak mampu untuk mengusahakannya, maka dia akan dibantu oleh negara. Namun, apabila tanah tersebut tidak ditanami oleh pemiliknya, maka tanah tersebut akan diberikan kepada orang lain sebagai pemberian cuma-cuma, tanpa kompensasi apapun, lalu dia menggarapnya. Apabila pemiliknya menggarapnya dan tetap menguasainya, maka dibiarkan selama tiga tahun. Apabila tanah tersebut dibiarkan tanpa dikelola selama tiga tahun, maka negara akan mengambil tanah tersebut dari pemiliknya dan diberikan kepada orang lain. Bagi siapa saja yang membutuhkan (biaya perawatan) akan diberi sesuatu (modal) dari baitul mal, sehingga orang yang bersangkutan bisa mengelolanya secara optimal.
Larangan Sewa Lahan Pertanian
Seorang pemilik tanah secara mutlak tidak boleh menyewakan tanahnya untuk pertanian. Ia tidak diperbolehkan untuk menyewakan tanah pertanian dengan sewa berupa makanan, atau apa saja yang dihasilkan dari sana, sebab semuanya merupakan ijarah. Menyewakan tanah untuk pertanian itu secara mutlak hukumnya haram. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits:
Mereka bertanya kepada Rasulullah, “Kami akan menyewakannya dengan bibit.” Beliau menjawab: “Jangan.” Mereka bertanya: “Kami akan menyewakannya dengan jerami.” Beliau tetap menjawab: “Jangan.” Mereka bertanya lagi: “kami akan menyewakannya dengan rabi’ (danau)”, Beliau tetap menjawab: “Jangan.” Kemudian beliau pertegas dengan sabdanya: “Tanamilah, atau berikanlah kepada saudaramu.”
Larangan penyewaan lahan pertanian secara ekonomi dapat dipahami sebagai upaya agar lahan pertanian dapat berfungsi secara optimal. Artinya seseorang yang mampu mengolah lahan harus memiliki lahan sementara siapapun yang tidak mampu dan tidak mau mengolah lahan maka tidak dibenarkan untuk menguasai lahan pertanuian.
Penutup
Demikianlah pandangan Islam tentang masalah pertanahan menurut tinjauan system politik ekonomi Islam. Seharusnya seluruh kebijakan pemerintah senantiasa berdasarkan aturan Islam. Sebab Islam tidak hanya mengatur masalah ritual ibadah tapi Islam juga mengatur masalah siyasah (politik). Hal ini menunjukkan sempurnanya Islam. Kesempurnaan Islam tidak akan terwujud tanpa adanya system yang sempurna yakni Khilafah.
Wallahu a’lam bi ashowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar