Al-Attas mungkin adalah sarjana Muslim kontemporer pertama yang telah memahami keunikan sifat ilmu Tafsir dan membedakannya dari konsep dan praktek Barat tentang hermeneutik, baik yang bersumber dari Kitab Bible atau teks-teks lainnya. Dalam hal ini al-Attas berbeda secara substantif dari Fazlur Rahman dan modernis atau post-modernis Muslim lainnya seperti Arkoun, Hasan Hanafi dan A.Karim Soroush. Pada Konferensi Dunia Kedua Pendidikan Islam (Second World Conference on Muslim Education) di Islamabad, al-Attas menggaris bawahi bahwa ilmu pertama dikalangan ummat Islam - ilmu Tafsir - menjadi mungkin dan menjadi kenyataan karena sifat ilmiah struktur Bahasa Arab.
Tafsir “benar-benar tidak identik dengan hermeneutika Yunani, juga tidak identik dengan hermeneutika Kristen, dan tidak juga sama dengan ilmu interpretasi kitab suci dari kultur dan agama lain.
Ilmu Tafsir al-Qur’an adalah penting karena ini benar-benar merupakan ilmu asas yang diatasnya dibangun keseluruhan struktur, tujuan, pengertian pandangan dan kebudayaan agama Islam. Itulah sebabnya mengapa al-Tabari (wafat 923 M) menganggapnya sebagai yang terpenting dibanding dengan seluruh pengetahuan dan ilmu. Ini adalah ilmu yang dipergunakan ummat Islam untuk memahami pengertian dan ajaran Kitab suci al-Qur’an, hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.
Tafsir adalah satu-satunya ilmu yang berhubungan langsung dengan Nabi, sebab Nabi telah diperintahkan oleh Allah swt untuk menyampaikan risalah kenabian, seperti yang terbukti dari ayat ini: “agar kamu (Muhammad) dapat menjelaskan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka.” Karena al-Qur’an diturunkan dalam Bahasa Arab dengan mengikuti cara-cara retorika orang-orang Arab, maka orang-orang yang hidup sezaman dengan Nabi memahami makna ayat al-Qur’an serta situasi ketika diturunkannya (sha’n dan asbab al-nuzul). Meskipun demikian, terdapat aspek-aspek ayat dan ajaran al-Qur’an yang memerlukan penjelasan dan penafsiran dari Nabi, baik secara verbal ataupun tingkah laku yang kemudian menjadi sunnah. Sebenarnya, dalam beberapa koleksi hadith terdapat bab khusus yang membahas tentang penafsiran al-Qur’an yang disebut kitab atau bab al-tafsir. Pengetahuan tentang hadith dan sunnah menjadi salah satu prasyarat yang asasi bagi pemahaman dan penafsiran al-Qur’an. Prasyarat lain, menurut al-Suyuthi, adalah pengetahuan ilmu linguistik Arab, seperti lexicografi, Tatabahasa, Konjugasi dan retorika, ilmu Fiqih, pengetahuan tentang berbagai macam bacaan al-Qur’an, ilmu Asbabunnuzul (sebab-sebab turunnya), dan ilmu Nasikh Mansukh.
Penafsiran dan penjelasan al-Qur’an seperti yang dibahas diatas, kebanyakan berdasarkan pada analisa semantik dengan pertimbangan latar belakang sosio-historis agar dapat memperoleh pengertian yang tepat. Kebenaran tentang ayat-ayat al-Qur’an tentang metafisika, hukum-hukum sosial dan sains tidaklah terbatas pada kondisi sosial historis ketika diturunkannya. Semua pertimbangan ini, yang seluruhnya berdasarkan pada sifat ilmiah Bahasa Arab dan adanya dukungan sejarah yang otentik, telah membantu menghasilkan Tafsir-tafsir al-Qur’an yang otoritatif yang tidak terdapat dalam tradisi-tradisi kitab suci lainnya. Sebagai contoh, dalam membandingkan al-Qur’an dengan kitab suci Hindu, Crollius mencatat bahwa analisa semantik lebih berkembang dalam kajian al-Qur’an dibandingkan dengan Kitab-kitab suci Hindu. Ia menambahkan:
Alasannya adalah bahwa al-Qur’an dari sudut pandang linguistik, menyuguhkan suatu kesatuan yang lebih besar dibandingkan dengan kitab-kitab suci Hindu. Selain itu beberapa situasi dalam al-Qur’an harus difahami dalam konteks latar belakang situasi keagamaan dimana penyebaran al-Qur’an berlangsung. Setting kesejarahan yang dapat diidentifikasi secara jelas hampir-hampir tidak ada pada sebahagian besar kitab-kitab suci Hindu. Ringkasnya, arti istilah-istilah al-Qur’an telah dijelaskan secara otoritatif oleh para ahli Tafsir Muslim. Tafsir otoritatif yang seperti ini tidak terdapat dalam agama Hindu.
Dari gambaran singkat diatas, sangatlah jelas bahwa ‘Ulum al-Tafsir atau ilmu penafsiran al-Qur’an sangat berbeda dari hermeneutik atau ilmu penafsiran kitab-kitab Yunani, Kristen atau tradisi agama lain. Dasar yang sangat fundamental dari perbedaan-perbedaan itu terletak pada konsepsi tentang sifat dan otoritas teks serta keotentikan dan kepermanenan bahasa dan pengertian kitab suci itu. Ummat Islam secara universal mengakui al-Qur’an sebagai kata-kata Tuhan yang diwahyukan secara verbatim kepada Nabi, dan banyak yang menghafal dan menulis ayat-ayatnya ketika Nabi hidup. Adanya berbagai variasi bacaan al-Qur’an telah diketahui dan diakui oleh orang-orang terdahulu yang berwenang sebagai tidak penting: semua itu berbeda hanya dalam kata-kata yang mengandung pengertian yang sama. Sebaliknya, orang-orang Yunani, seperti juga orang-orang Hindu, tidak pernah mempercayai sebarang Nabi atau wahyu. Pandangan keagamaan, tradisi dan adat istiadat orang Yunani kebanyakannya berdasarkan pada mitologi dan puisi, khususnya oleh Homer dan Hesiod, dan pada spekulasi filosof-filosof mereka yang bermacam-macam. Penafsiran-penafsiran mitologi dan puisi boleh jadi sangat subyektif atau ditentukan oleh kondisi politik keagamaan yang berlaku. Metode terpenting yang digunakan secara alami adalah metode kiasan (allegory), suatu tradisi di Yunani yang di prakarsai oleh Theagenes dari Rhegium (Abad ke 6 SM). Panafsiran kiasan (allegorical interpretation), umumnya melibatkan penolakan literer atau meninggalkannya sama sekali. Theagenes mempergunakan metode tersebut dalam menafsirkan Homer untuk melawan musuh-musuh teologis Homer dengan menafsirkan nama-nama tuhan untuk menunjukkan berbagai hakekat jiwa dan perjuangannya yang konstan menghadapi elemen-elemen alam. Kaum Stoic kemudian menjelaskan penggunaan Cynics dalam kiasan Homer untuk kepentingan suatu sistim filsafat. Yang agak menakjubkan adalah bahwa filsafat-filsafat Yunani telah menghasilkan penafsiran yang tak terhitung jumlahnya dan seringkali bertentangan secara mendasar.
Bible berbahasa Hebrew (atau materi-materi yang membentuk Perjanjian Lama), menurut para cendekiawan mereka, tidaklah dibangun sepenuhnya atas dasar ilmiah historis yang menunjukkan keasliannya, tapi berdasarkan pada keimanan belaka. Seperti yang dinyatakan oleh seorang cendekiwan: Teks Hebrew yang sekarang berada di tangan kita memiliki satu kekhususan: meski usianya yang cukup lama, ia datang kepada kita dalam bentuk manuskrip-manuskrip yang agak terlambat, oleh sebab itu dengan perjalanan waktu (lebih kurang hingga seribu tahun) telah banyak berubah dari aslinya)….tidak ada satupun dari manuskrip-manuskrip itu yang (datang) lebih awal dari abad kesembilan Masehi.
Sehubungan dengan kitab Perjanjian Lama (Old Testament), dapatlah disimpulkan bahwa, meskipun perbedaan-perbedaan itu tidak lagi wujud, namun kesalahannya tetap tersembunyi, dan jika ada kesalahan yang seperti itu ia dapat dikoreksi hanya dengan pembetulan spekulatif (yang bahayanya)…. sudah terkenal dan jelas…[aslinya italic].
Kehadiran kitab suci secara terlambat, sebenarnya tidaklah dengan sendirinya berarti negatif, jika semua isinya dihafal secara sempurna oleh sejumlah besar orang-orang yang sezaman dengan Yesus dan yang dedikasinya dapat dipercaya. Dengan begitu secara praktis mustahil terjadi kesalahan, seperti dalam kasus al-Qur’an.
Kitab Perjanjian Baru juga mempunyai masalah yang sama dengan Bible Hebrew. Kitab-kitab ini, khususnya gospel, ditulis setelah zaman Yesus dalam bahasa Yunani, yang dia sendiri sangat tidak mungkin berbicara dengan bahasa itu. Lagi pula, hal ini diakui oleh pihak yang berwenang dan terkenal dalam Kristen bahwa tujuan penulis-penulis gospel tidak untuk menulis sejarah yang obyektif tapi untuk tujuan-tujuan penyebaran agama Nasrani (evangelisme), yang sebahagiannya mengakibatkan kepada penafsiran-penafsiran allegoris yang berlebihan. Diakui pula bahwa salinan-salinan literatur Bible selanjutnya mengalami penyuntingan-penyuntingan reguler agar sesuai dengan kebutuhan dan zaman yang berubah.
Masalah di dalam penafsiran dan pemahaman ajaran-ajaran Yesus yang ditimbulkan oleh absennya pernyataan-pernyataannya yang asli secara permanen sangatlah jelas dan tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Alasan mengapa penulis-penulis Kristen awal memilih untuk menulis dalam bahasa Yunani ketimbang bahasa Armaic, yang merupakan bahasa asli Yesus yang historis, masih sejalan dengan kecenderungan evangelistis. Diduga bahwa bahasa Yunani dapat diadapsikan dan digunakan dengan baik bagi kepentingan agama Kristen. Hal ini bukan hanya karena bahasa itu digunakan secara luas pada masa kemudian, tapi juga karena bahasa itu menyediakan suatu medium yang kaya dan fleksible yang tanpanya kebenaran Kristiani tidak dapat menemukan ekspresi yang cocok. Bahasa Yunani dapat mengekspresikan berbagai nuansa makna dengan pembedaan yang halus, dan sebagiannya kaya dengan istilah-istilah keagamaan, etika dan filsafat yang diadapsikan untuk kegunaan bahasa Perjanjian Baru dan teologi Kristen. Perlu dicatat bahwa sehubungan dengan bahasa evangelis ini telah terjadi hal yang sebaliknya dalam sejarah Islam. Sejauh pengetahuan saya, al-Attas adalah cendekiawan pertama yang mencatat dan menjelaskan masalah yang sangat fundamental ini. Ketika Islam datang ke dunia Melayu melalui usaha-usaha para ulama dan saudagar Islam pada awal abad ke 12 M, mereka sengaja memilih bahasa Melalyu dan mempropagandakan pemakaiannya sebagai lingua franca dikawasan itu serta mengembangkannya menjadi bahasa keagamaan dan kesusasteran menggantikan Bahasa Jawa kuno atau Sanskrit, yang terminologi-terminologi keagamaan, etika dan filsafatnya diwarnai secara kental oleh pandangan hidup Hindu Budda. Bahasa Melayu saat itu belumlah dipakai dikebanyakan kawasan itu, ia hanya terbatas pada sedikit daerah-daerah komersial di pinggiran pantai.
Kasus yang sama telah terjadi lebih awal lagi ketika Islam datang ke Iran dan ke anak benua India. Meskipun Muslim Arab yang memasuki Persia pada sekitar tahun 900 M, memilih untuk menggunakan bahasa Pahlavi yang telah ada dan yang merupakan medium bagi agama Zoroaster, namun mereka mengganti tulisan Pahlavi yang usang itu dengan tulisan Arab. Oleh karena “Iran telah kemasukan agama dan jalan hidup orang Arab hingga ke urat nadinya” seperti yang dinyatakan oleh Noldeke, maka konsekuensinya yang nyata adalah bahwa kesusasteran dan percakapan Arab dipraktekkan dengan pengaruh yang sangat kuat terhadap bahasa Persia, khususnya dalam bahasa tulisannya, sehingga tidak ada kata-kata Arab yang tidak dapat digabungkan dengan bahasa Persia yang baik. Di India, orang-orang Islam tidak menggunakan bahasa Sanskrit yang merupakan bahasa kitab suci agama Hindu, atau bahasa Pali agama Buddha; mereka lebih cenderung memperkenalkan bahasa Persia. Mereka kemudian mengembangkan bahasa Urdu yang kebanyakan bedasarkan pada bahasa Persia dan Arab, meskipun tatabahasa dan strukturnya diambil dari bahasa Hindi.
Sebelum kita mengetrapkan secara tepat hikmah (wisdom) khusus dan umum yang terdapat dalam kitab suci ke dalam situasi sosio-historis yang berbeda-beda, pertama-tama kita harus memahami secara benar pengertian-pengertian yang orisinal ayat-ayat dalam kitab suci itu. Disini jelas bahwa pengetahuan tentang pengertian-pengertian yang orisinil dalam kitab-kitab suci Yahudi dan Kristen tidak dapat diperoleh, dan pada gilirannya akan memberikan jalan bagi suatu perkembangan yang oleh Gray disebut dengan “metode yang tidak sehat” dalam penafsiran:
(1) Penafsiran allegoris seperti yang dianut oleh Philo (meninggal sekitar 50 SM) dari agama Yahudi, Origen (meninggal sekitar 254 M) dan Jerome (meninggal 420 M) dari agama Kristen dikenal hingga Reformasi pada abad ke 16. Metode Philo sebenarnya diambil dari tradisi allegoris Yunani yang metodenya juga berpengaruh panjang terhadap metode penafsiran dalam agama Kristen dari sejak zaman Alexandria dan seterusnya. Pada zaman Pertengahan Latin para pendeta dari gereja Latin kemudian mentransfer metode ini ke dalam tafsir Perjanjian Baru.
(2) Metode dogmatis yang berusaha untuk menghukumi dan mengevaluasi semua interpretasi kitab suci menurut tradisi-tradisi gereja yang diberi otoritas dengan mudah tanpa cacat. Kaum Protestan, yang dipimpin oleh Luther, Zwingli, Melancthon dan Calvin pada abad ke 17 menolak kedudukan otoritas yang seperti itu dan berusaha untuk mengikuti otoritas tanpa cacat itu bukan dari gereja tapi hanya dari teks-teks kitab suci itu. Tapi karena teks-teks kitab suci itu tidak orisinal, terpaksa mereka menggunakan penafsiran sejarah.
Dalam hal ini perlu disebutkan bahwa kajian-kajian filosofis dan grammatikal yang ditrapkan terhadap penjelasan Bible sejak zaman pertengahan, khususnya terhadap Perjanjian Lama, dipengaruhi oleh hasil hubungan kultural dengan orang-orang Islam dan perkenalan mereka dengan retorika dan grammatika Bahasa Arab. Cendekiawan besar Yahudi, Sa’adyah Gaon (meninggal 942 M), seorang perintis kajian linguistik Yahudi, adalah diantara mereka yang dipastikan terpengaruh oleh metodologi kalam Arab-Islam. Seperti pendahulunya, Gaon telah terlibat dalam proses penterjemahan kitab suci itu kedalam Bahasa Arab dan juga dalam penulisan penjelasannya dalam bahasa yang sama, dan itu telah membuka jalan bagi suatu kajian baru kitab Perjanjian Lama. Usaha-usahanya itu telah mendorong tumbuhnya suatu pusat baru bagi kajian Bible dan linguistik yang intensif di Spanyol, yang kemudian mempengaruhi kajian Bible dalam Kristen. Fakta ini diakui oleh Josep Schmid yang menulis bahwa:”Para cendekiawan Yahudi Abad Pertengahan telah menghasilkan penjelasan-penjelasan kitab suci, karya-karya ketata-bahasaan dan lexicografis dalam jumlah yang besar yang juga mempengaruhi ilmu pengetahuan orang-orang Kristen tentang Bible. Solusi problem-problem tentang historisitas dan pemahaman kitab suci Yahudi dan Kristen nampaknya menemui jalan buntu, dan harus dijawab oleh generasi mendatang dengan bukti-bukti dan argumentasi yang lebih baik. Hal ini diakui oleh seorang cendekiawan yang ahli dalam bidang hermeneutik Bible yang dalam kesimpulan akhirnya menyatakan:”Persoalan tentang prinsip penafsiran yang valid dan konsisten untuk Perjanjian Lama dan Baru, serta penafsiran hukum secara keseluruhan, masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut.”
Berdasarkan pada penangkapannya yang ringkas tentang semangat dan kecenderungan yang fundamental tentang hermeneutik dan pemahamannya yang mendalam tentang keunikan karakter Tafsir sebagai ilmu, al-Attas menggaris bawahi dengan perkataan yang pasti bahwa Tafsir adalah benar-benar merupakan suatu metode ilmiah. Sebab Tafsir yang benar adalah yang berdasarkan pada ilmu pengetahuan yang mapan tentang “bidang-bidang” makna seperti yang disusun dalam bahasa Arab, diatur dan diaplikasikan didalam al-Qur’an serta tercermin dalam Hadith dan Sunnah. Maka dari itu, al-Attas menyatakan bahwa di dalam Tafsir tidak ada ruang bagi terkaan atau dugaan yang gegabah, atau ruang bagi interpretasi-interpretasi yang berdasarkan pada penafsiran atau pemahaman yang subyektif atau yang berdasarkan hanya pada ide tentang relativisme historis, seakan-akan perubahan semantik telah terjadi dalam struktur-struktur konseptual kata-kata dan istilah-istilah yang membentuk kosa-kata kitab suci ini.
Tafsir al-Qur’an adalah interpretasi berdasarkan pada ilmu pengetahuan yang mapan. Ia adalah kata benda infinitif yang diderivasikan dari kata kerja transitif fassara yang, menurut lexicolog Arab klassik, berarti menemukan, mendeteksi, mengungkapkan, memunculkan atau membuka sesuatu yang tersembunyi; atau membuat sesuatu menjadi jelas, nyata, atau gamblang; menerangkan, menjelaskan atau menafsirkan. Disitu, tafsir, seperti yang diterapkan kedalam al-Qur’an, menunjukkan arti “memperluas, menjelaskan, atau menginterpretasikan cerita yang ada…. dalam al-Qur’an, dan memaklumkan pengertian kata-kata atau ekspresi yang janggal, serta menjelaskan keadaan ketika ayat-ayat itu diwahyukan.” Pengertian Tafsir yang telah mapan adalah bahwa ia berusaha memberikan arti melalui bukti nyata atau eksternal (dalalah zahirah) sebagai bandingan dari bukti internal atau tersembunyi (dalalah batinah) yang terkandung dalam ta’wil atau interpretasi yang lebih mendalam.
Penafsiran dan penjelasan kata-kata dan konsep-konsep yang sulit, dalam al-Qur’an terdiri dari empat macam. Pertama, yang hanya diketahui oleh Tuhan, seperti arti-arti huruf-huruf yang terputus (huruf al-muqatta’at) yang muncul pada permulaan beberapa surah, informasi tentang tanggal dan waktu seperti waktu atau saat Hari Kebangkitan atau kemunculan kembali atau turunnya Nabi Isa, anak Maryam. Interpretasi mengenai hal-hal ini hanya akan merupakan dugaan dan terkaan belaka. Kedua, yang hanya dapat dijelaskan oleh Nabi, baik melalui teks (nass) dari beliau, atau melalui petunjuk (dalalah) yang telah diberikan kepadanya. Contoh tentang hal ini termasuk kewajiban agama yang spesifik dan masalah hukum seperti hukum waris. Ketiga, aspek-aspek yang dapat diinterpretasikan oleh mereka yang menguasai berbagai macam aspek Bahasa Arab, seperti yang difahami oleh orang-orang Arab, dan keempat, aspek-aspek yang dapat dijelaskan oleh ulama. Ulama yang mampu menafsirkan dan menjelaskan al-Qur’an adalah mereka yang memiliki ilmu pengetahuan linguistik Bahasa Arab, seperti lexicografi, tatabahasa, konjugasi dan retorika, pengetahuan hukum, pengetahuan variasi bacaan al-Qur’an, pengetahuan tentang kondisi ketika wahyu diturunkan, dan pengetahuan tentang ayat-ayat nasikh mansukh (yang menghapuskan dan yang dihapuskan), serta pengetahuan tentang hadith dan sunnah.
Menafsirkan al-Qur’an tanpa memiliki ilmu pengetahuan yang memadai dalam atau tentang hal-hal ini adalah identik dengan membuat penafsiran sesuai dengan pendapat pribadi seseorang (tafsir bi-l-ra’yi), yaitu yang dilarang, tanpa mempertimbangkan apakah hasilnya itu benar atau salah. Suatu hadith Nabi seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas, mengatakan:”Barangsiapa berbicara tentang al-Qur’an sesuai dengan pendapat pribadinya (bi ra’yihi), dipersilahkan untuk mengambil tempat duduknya di neraka.” Seperti diriwayatkan oleh Jundub, Nabi juga mengatakan:”Barangsiapa berbicara sesuai dengan pendapat pribadinya tentang al-Qur’an dan ia benar adalah (tetap) salah”.
Pandangan al-Attas ketika menyatakan bahwa “dalam Tafsir, tidak ada ruang bagi terkaan atau dugaan yang gegabah…..penafsiran atau pemahaman yang subyektif yang berdasarkan hanya pada ide tentang relativisme historis…”tidak berarti bahwa kebiasaan-kebiasaan seperti itu, yakni terkaan yang gegabah dan pemahaman yang subyektif, tidak pernah dilakukan dalam berbagai karya Tafsir, sebab hal itu memang ada dan akan terus ada. Meskipun begitu dugaan-dugaan dan penafsiran yang subyektif itu dengan sendirinya dan pada kenyataannya bukanlah Tafsir, walaupun itu merupakan karya besar yang diberi nama Tafsir. Tapi, karena adanya syarat-syarat yang jelas dan diterima secara luas, seperti yang disebutkan diatas, anggota masyarakat yang terdidik secara Islami tentu dapat bersikap secara tepat ketika menghadapi berbagai macam penafsiran al-Qur’an yang tidak bermutu dan tidak diakui itu. Karena kenyataan bahwa ilmu-ilmu yang disebutkan diatas adalah otoritatif dan telah dikodifikasikan serta dapat diperoleh dengan mudah, maka ilmu Tafsir al-Qur’an adalah sesuatu yang telah direalisasikan, dan karena itu tidak terbuka bagi generasi yang akan datang untuk mengadakan perubahan-perubahan yang fundamental. Sudah berang tentu generasi mendatang dapat memberi tambahan pengertian yang lebih luas terhadap Tafsir otoritatif yang telah ada, khususnya dalam aspek-aspek ilmu alam (natural sciences), tapi mereka tidak dapat begitu saja mengesampingkan penjelasan-penjelasan spiritual, etik dan hukum serta hubungan latar belakang historisnya. Persyaratan yang ketat dalam menafsirkan al-Qur’an bukanlah suatu upaya untuk menjauhkan al-Qur’an dari orang-orang Islam awam, tapi lebih merupakan suatu sikap yang adil terhadapnya dan tentunya merupakan suatu mekanisme efektif untuk meminimalkan masuknya kesalahan dan kebingungan. Daripada membiarkan terjadinya liberalisasi penafsiran al-Qur’an yang berdasarkan pada kejahilan, terkaan dan interes-interest pribadi dan kelompok, Islam menggalakkan belajar dan pencarian ilmu pengetahuan sebagai asas bagi pemahaman dan perkembangan agama, dengan meletakkan persyaratan yang berakar pada ilmu pengetahuan dan entegritas moral. Penekanan pada kriteria intelektualitas dan moralitas inilah yang menjadikan tamaddun Islam bercirikan ilmu pengatahuan.
Al-Attas mungkin satu-satunya intelektual Muslim kontemporer yang mendukung dan menjelaskan relevansi “Tafsir dan Ta’wil yang permanen sebagai metode pendekatan yang valid terhadap ilmu pengetahuan dan metodologi ilmiah dalam rangka pengkajian kita tentang alam semesta ini” dan dalam hubungannya yang integral dengan konsepsi Islam tentang ilmu pengetahuan dan pendidikan. Metode ilmiah Tafsir, yang berkaitan erat dengan penjelasan kami terdahulu tentang sifat ilmiah Bahasa Arab, dapat dibuktikan dari kenyataan bahwa hasil-hasil dari kerja Tafsir yang betul adalah ilmu pengetahuan yang pasti, sama pastinya dengan ilmu eksak seperti ilmu fisika dan matematika. Kesalahan dapat terjadi pada ilmu pasti sekalipun, baik dalam formulasi paradigma-paradigmanya dan prosedur-prosedurnya atau dalam aplikasinya, atau pada keduanya, tapi Tafsir sebagai ilmu eksak tidak mungkin salah, karena ia berdasarkan pada aturan lingusitik dan bidang semantik tentang makna yang mapan serta pandangan hidup al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang sahih. Tapi, Tafsir sebagai ilmu eksak tidak memberikan penjelasan yang final, karena hal itu adalah termasuk dalam ruang lingkup ta’wil.
Pandangan al-Attas tentang sifat ilmiah Tafsir adalah suatu jawaban yang tajam terhadap pandangan yang menyesatkan para penulis Muslim yang dipengaruhi secara langsung atau tidak langsung oleh perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam sejarah sains dan sosiologi ilmu pengetahuan, dan juga oleh perkembangan umum hermeneutik. Pada intinya mereka berpendapat bahwa setiap penafsiran teks, termasuk teks-teks al-Qur’an, adalah penuh dengan muatan teori dan diasimilasikan dengan pemikiran yang terikat pada perkembangan sejarah, teologi, politik dan ilmu pada masa itu. Salah seorang dari penulis itu, setelah mengemukakan suatu gap yang tak dapat terjembatani antara agama/wahyu dan sains/ilmu pengetahuan/penafsiran, menyatakan bahwa:
Agama yang diwahyukan sudah tentu bersifat ketuhanan, tapi tidak demikian halnya dengan ilmu agama yang merupakan output dari produksi dan konstruksi manusia. Ia adalah bersifat manusia dalam artian bahwa ia secara esensial dirasuki oleh semua karakteristik manusia yang mulia dan sekaligus hina itu.
Penulis seperti ini terperangkap sekurang-kurang dalam dua jalan. Pertama, lemahnya pendapat mereka sendiri yang sudah tentu telah tercampur dengan ideologi, metodologi dan pemikiran lain yang telah usang, meskipun begitu mereka meyakini pendapat mereka itu sebagai final dan tak berubah. Kedua, ketidakmampuan mereka untuk menjelaskan fakta bahwa beberapa Muslim yang cerdas, misalnya, masih berpegang pada penafsiran-penafsiran yang pernah dianut oleh, misalnya al-Ghazzali pada hampir seribu tahun yang lalu dan dapat berhasil mempertahankannya. Meskipun disitu jelas terdapat perbedaan-perbedaan kondisi sosial, politik dan ekonomi. Hal yang sama juga dapat diarahkan kepada beberapa pemikir Kristen modern seperti Etienne Gilson dan lainnya yang berpegang pada pendapat yang sama dengan apa yang dianut oleh Thomas Aquinas.
Al-Attas tentu akan tidak sependapat dengan Fazlur Rahman yang menganggap pembunuhan sebagai suatu tindak kejahatan sosial (social crime), dan bukan tindak kejahatan pribadi seperti yang dinyatakan dalam al-Qur’an. Yang demikian itu mungkin disebabkan oleh pengaruh metode historis kritis yang rancu seperti kritik-kritik terhadap Bible, yang memang telah melanda ilmu Tafsir. Metode yang seperti ini telah mengakibatkan berbagai kesulitan pada diri mereka sendiri, salah satunya adalah subyektifisme. Fazlur Rahman misalnya, menolak keras pendapat ahli hukum Muslim tradisional bahwa pembunuhan adalah suatu kejahatan pribadi terhadap keluarga korban berdasarkan ayat dalam surah Al-Baqarah (2):178-179, yang memperbolehkan keluarga itu untuk membalas, membayar uang darah atau memberikan maaf. Fazlur Rahman malah mengajukan “suatu prinsip yang lebih umum” dari surah al-Ma’idah (5):32 bahwa “Barangsiapa membunuh seseorang dengan secara tidak sah (bi ghayri nafsin) atau dengan tanpa suatu kerusakan (peperangan) di muka bumi, maka ia sama dengan membunuh seluruh ummat manusia”, yang jelas-jelas telah memahami makna pembunuhan diatas sebagai tindak kejahatan terhadap masyarakat ketimbang kejahatan pribadi terhadap suatu keluarga.
Selanjutnya untuk dapat “menghilangkan penafsiran-penafsiran yang tidak menentu” dan “mengurangi subyektifitas”, ia menyarankan agar setiap penafsir menyatakan secara eksplisit teori-teori umum dan khususnya serta premis-premis yang berhubungan dengan isue-isue atau masalah-masalah tertentu. Akan tetapi dalam kasus khusus diatas sama sekali tidak terjadi penafsiran yang tidak menentu dan subyektif, sebab seluruh ahli hukum Muslim sepakat dengan kenyataan bahwa pembunuhan adalah suatu kejahatan pribadi, justru Fazlur Rahman sendiri yang tidak menyatakan teori umum dan primis-premis khususnya. Terjemahan Fazlur Rahman kalimat bi-ghayri nafsin dengan pembunuhan yang tidak sah, menurut al-Attas adalah sangat subyektif dengan maksud agar sesuai dengan tujuannya yang bias bahwa semua pembunuhan selain perang adalah kejahatan terhadap masyarakat. Sudah barang tentu pembunuhan yang tidak dibenarkan adalah termasuk pembunuhan biasa sedangkan pembunuhan yang dibenarkan termasuk pembunuhan pembunuh dan orang-orang jahat. Al-Attas mengetengahkan bahwa bi ghayri nafsin berarti “kecuali seseorang”, yakni kecuali orang-orang biasa, dan karena itu menunjukkan kepada pembunuh biasa.
Penafsiran Fazlur Rahman jelas subyektif, karena ia juga dengan mudahnya melupakan konteks - historis sekaligus semantik - dari apa yang dinamakan ayat yang lebih umum. Konteks ayat-ayat sebelumnya dan sesudahnya jelas menunjukkan bahwa pembunuhan seorang individu yang dianggap sama dengan pembunuhan semua orang itu tidak menunjuk kepada individu tertentu, tapi kepada para nabi, dan kepada guru-guru besar yang mengajarkan kebaikan dan kesalehan, yang amal-amal dan ajaran-ajaran mereka berpengaruh kepada masyarakat. Sebab dengan membunuh mereka akan membuat masyarakat kehilangan petunjuk. Itulah sebabnya mengapa separoh bahagian terakhir dari ayat yang dikutip diatas menyebutkan dengan jelas “dan jika seseorang itu menyelamatkan satu nyawa, akan berarti seakan-akan ia menyelamatkan kehidupan semua orang”.
Ta’wil adalah kata benda infinitif dari kata kerja transitif, awwala, yang berarti membuat sesuatu itu kembali atau mengurangi sesuatu, yang berarti “menemukan, mendeteksi, mengungkapkan, mengembangkan, atau membuka, atau menjelaskan, menggambarkan, atau menterjemahkan tentang sesuatu atau mungkin menguranginya atau tentang sesuatu yang terjadi atau mungkin terjadi.” Istilah ta’wil yang disebutkan sebanyak 13 kali dalam al-Qur’an, menunjukkan arti penterjemahan sesuatu yang simbolik (seperti mimpi) atau penuturan hasil akhir atau hasil yang terjadi sesudahnya, seperti dalam surah Yusuf (12):101. Ia dapat juga berarti akibat terakhir (’aqibah) dari sesuatu seperti dalam Ali Imran (3):7 dan al-A’raf (7): 53, dst.
Al-Attas menganggap ta’wil sebagai “suatu bentuk intensif dari tafsir.” Ta’wil bukanlah interpretasi allegoris sebagaimana yang difahami oleh ilmuwan Barat seperti Andrew Rippin, sebab interpretasi allegoris, seperti yang disebutkan terdahulu, menolak semua pertimbangan-pertimbangan linguistik atau semantik atau mengesampingkan keduanya, sehingga tidak bisa sama dengan kebanyakan interpretasi ta’wil. Ta’wil adalah penafsiran batin dan lebih mendalam (tafsir batin), seperti yang ditunjukkan oleh Abu Thalib al-Thalabi, yang tentunya mensyaratkan kesesuaiannya dengan penafsiran zahir yang lebih nyata. Para cendekiawan Muslim sejak dahulu menganggap ta’wil sebagai tafsir dengan bentuk yang lebih spesifik, atau memahami tafsir sebagai lebih umum daripada ta’wil (al-tafsir a’ammu min al-ta’wil) seperti pendapat al-Raghib al-Isfahani. Selanjutnya, ta’wil, menurut al-Baghawi and al-Kuwashi, tidak dapat bertentangan dengan pengertian linguistik, dan ajaran-ajaran umum al-Qur’an dan Sunnah. Maka dari itu ia meliputi dan malah melampaui interpretasi tafsir, dan berusaha untuk mengungkapkan arti final dari sesuatu (’aqibatu-l-amr). Memang, kadang-kadang tafsir dan ta’wil dan juga ma’ani, dianggap sinonim, dan kita faham bahwa ini tidak disebabkan oleh metodenya yang persis sama, tapi lebih disebabkan oleh kesamaan dalam makna. Makna yang dicapai oleh tafsir tidak dapat diperluas kepada ta’wil yang kadang-kadang terjadi, khususnya, dalam penfsiran hukum. Dalam bidang hukum, penafsiran haruslah jelas (muhkam) dan tidak ambiguous (mutashabih). Hubungan intrinsik antara tafsir dan ta’wil ini telah difahami oleh Muslim sejak dahulu. al-Attas menunjukkan contoh klasik tentang sifat ilmiah ta’wil dan hubungan integralnya dengan tafsir:
Ketika Tuhan Yang Maha Agung berfirman bahwa Ia melahirkan (sesuatu) yang hidup dari yang mati (yukhriju al-hayy min al-mayyit) dan sekedar untuk memberi satu contoh khusus, kita menafsirkannya dengan pengertian bahwa Ia menjadikan burung dari telur, maka ini adalah tafsir. Tapi ketika kita menginterpretasikan kalimat yang sama dengan pengertian bahwa Ia menjadikan orang beriman (al-mu’min) dari kafir (al-kafir), atau Ia melahirkan orang alim dari yang jahil, maka ini adalah ta’wil. Dari sini jelaslah bahwa ta’wil tidak lain adalah suatu bentuk intensif dari tafsir; sebab yang terakhir (tafsir) menunjukkan penemuan, mendeteksi atau mengungkapkan tentang apa yang dimaksudkan oleh ungkapan yang ambiguos itu, sedangkan yang pertama (ta’wil) menunjukkan arti final dari ungkapan itu. Sekarang, penemuan, pendeteksian, atau pengungkapan makna-makna yang tersembunyi dari kata-kata dalam kalimat yang dikutip diatas - yang berkisar pada dua kata-kata yang ambiguous yang dipermasalahkan yaitu: yang hidup (al-hayy) dan yang mati (al-mayyit) - dalam kedua kasus tafsir dan ta’wil adalah berdasarkan pada kalimat lain dalam al-Qur’an, yang mengungkapkan struktur konseptual kata-kata itu dan konteks yang menentukan keduanya dalam bidang semantik, serta yang mencerminkan kondisi dimana keduanya diwahyu
Thank for http://militan.blogsome.com/2006/05/02/tafsir-bukanlah-hermeneutika/#more-33